Chapter 1

27 0 0
                                    

ASHTON : Si Perfect yang Tak Mungkin Kumiliki

Aku menarik kesimpulan setiap kali aku jatuh cinta. Mereka semua tidak pernah menjadi milikku. Mereka hanya menjadi bayang-bayang di tengah masa laluku. Dingin, tidak sehangat ketika aku merasakannya. Setelah kupikir-pikir, itulah mengapa mereka tetap berada di masa lalu. Enggan untuk hadir di masaku yang sekarang. Karena tempat mereka hanya di masa lalu.

Setiap kali aku jatuh cinta, aku tidak pernah benar-benar menyatakannya. Masa bodoh mereka tahu atau tidak -padahal aku berharap mereka bisa menebakku, nyatanya tidak-, aku akan terus menyukai mereka sampai suatu ketika aku merasa lelah jatuh cinta sendirian, lalu berjalan mundur selangkah demi selangkah.

Aku selalu begitu.

Aku mungkin pernah merasakan jatuh cinta, namun aku tidak pernah benar-benar mengatakannya kepada orang-orang yang kusukai. Rasa itu hanya hilang begitu saja, dan jika aku kembali mengingatnya... hanya beberapa penggalan peristiwa yang bisa kuingat. Terlihat tidak istimewa lagi, bukan?

Semua kisah cinta memiliki arti tersendiri bagi diriku. Entahlah. Mengingat semua kenangan itu lagi, membuatku merasa bodoh, konyol, terlalu banyak tawa yang kulepaskan sendiri. Karena aku jatuh cinta sendiri.

*

Namaku Laura Powell. Dan dia adalah Ashton Jonathan, yang biasa dipanggil Ash. Kami pertama kali bertemu di perkemahan musim panas. Aku terpaksa mengikuti acara yang menurutku "anak-anak" itu karena memang hanyalah anak-anak non-populer yang mengikutinya. Setidaknya itu yang aku pikirkan sebelum aku mengenal Ash. Dia adalah kakak kelasku yang sering dibicarakan, tetapi aku belum pernah melihatnya. Kukira dia takkan mampu menyihirku, ternyata aku salah.

Ashton memiliki wajah yang imut. Badannya tidak atletis, namun terlihat nyaman untuk menjadi sandaran. Dadanya bidang, meskipun dia jarang sekali berolahraga. Bagaikan pangeran berkuda putih, Ashton memiliki mata yang berwarna hijau lumut, entah bagaimana caranya. Matanya itu mampu menyihirku –sekaligus gadis-gadis lain- karena kehangatannya setiap kali menatap kedua mata itu. Seakan-akan ada aliran listrik yang menyetrum kami, dalam artian yang baik.

Aku tidak menyangkal bahwa ada banyak laki-laki lain yang atletis, talkactive, dan lebih tampan ketimbang dia. Ada Billy, Nathan, dan geng mereka yang isinya cowo-cowo populer nan tampan. Namun, caranya berbicara yang penuh kebijaksanaan. Tawanya yang merekah setiap kali dia berjalan, membuatku sekonyong-konyong tidak dapat bernapas untuk beberapa detik. Dia sempurna, setidaknya itu yang kupikirkan 3 tahun yang lalu.

Kenanganku akan dirinya begitu kental begitu aku mengingat-ingat kejadian di perkemahan itu. Ash menjadi pembimbing kelompokku saat itu. Tentu saja para gadis di kelompokku senang, termasuk aku. Kami adalah orang-orang beruntung yang mendapat kesempatan untuk bisa mengenal Ash lebih dekat. Bayangkan saja, setiap makan pagi-siang-malam, kami pasti akan semeja dengan Ash dan dia akan mengajak kami berbicara layaknya seorang leader yang berusaha menyatukan anggota-anggotanya.

"Jadi kalian ingin melakukan apa selama kita disini?" Tanya Ash, menatap setiap orang dengan matanya yang –sekali lagi- indah. Kami duduk membuat lingkaran, diam-diam meliriknya dengan rasa kagum.

"Aku ingin membuat api unggun!" Seru salah seorang lelaki di kelompokku. Aku lupa namanya.

"Aku ingin mendengarkan kakak bermain gitar." Ucap Kimberly, teman sekelasku. Dia, salah satu dari sekian banyak gadis yang tertarik dengan Ash. Kimberly adalah sosok pemberani yang mudah mendekati laki-laki tanpa merasa malu untuk ditolak atau dicemooh. Aku suka dengan perilaku acuh-tak-acuh miliknya. Namun, pendekatannya dengan Ash personally adalah pengecualian.

HOW TO : FALLING OUT LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang