Chapter 2

5 0 0
                                    

LOUIS : Perenggut Cinta Pertamaku

Aku bertemu dengan Louis, sebelum aku mengenal cinta atau rasa ketertarikan kepada lawan jenis. Aku masih berumur 14 tahun saat itu. Teman-teman sekelasku sudah banyak yang berpacaran, dan pada waktu itu aku tidak tertarik. Aku hanyalah gadis pendiam yang tidak memiliki banyak teman. Satu-satunya yang kuharapkan saat itu adalah lulus dengan nilai terbaik di sekolahku.

Louis adalah anak baru di sekolahku. Kulitnya yang putih, seperti jarang terkena sinar matahari dan postur tubuhnya kurus tinggi. Postur tubuhnya agak bongkok, namun secara garis besar wajah Louis lumayan, namun sayang dia tidak berhasil menarik perhatian gadis-gadis di sekolahku. Mungkin karena aura lelaki itu yang biasa saja. Atau karena tubuhnya yang terlalu ceking.

Entah mengapa, aku menemukan Louis menarik. Dia duduk di serong kanan belakangku. Wajahnya tampak serius ketika pelajaran dimulai dan dia selalu membetulkan kacamatanya setiap kali pelajaran berakhir. Louis jarang makan diluar atau makan di kantin karena dia membawa bekalnya sendiri. Sama sepertiku. Aku menangkap kebiasaan itu karena aku sering memperhatikannya.

Pernah sekali dia menatapku balik penuh tanda tanya. Aku hanya tersenyum malu-malu, lalu kembali menatap ke depan. Oh, bukan hanya sekali. Tapi berkali-kali. Aku merasa setelah beberapa kali ketahuan memperhatikannya, dia tidak lagi menatapku penuh tanda tanya. Seperti dia terbiasa dengan perilakuku yang aneh itu.

Tidak. Aku tidak aneh. Aku hanya senang memandangi Louis untuk alasan yang aku sendiri tidak mengerti. Seperti ada sebuah magnet agar aku selalu memandang kearah lelaki itu ketika kelas sedang berlangsung.

Hari-hari berjalan penuh kebahagiaan setelah Louis berada di kelasku. Aku merasa kelas menjadi tidak membosankan. Bukan karena pelajarannya, tetapi karena aku bisa melihat lelaki itu setiap hari. Semangatku untuk berangkat ke sekolah bertambah. Aku mulai mendengarkan lagu-lagu cinta, seperti anak-anak lainnya. Waktu itu aku jatuh cinta dengan suara Taylor Swift. Aku memutar lagu Crazier, salah satu soundtrack dari Hannah Montana The Movie setiap kali pulang sekolah, atau ketika aku sedang mengerjakan tugas.

Apakah ini yang namanya jatuh cinta? Entahlah.

Aku terlalu muda untuk mengatakan bahwa diriku jatuh cinta, kalau aku belum bisa memastikannya sendiri. Sejujurnya aku tidak tahu harus memastikannya. Aku bingung harus membicarakan ini ke siapa. Membicarakan hal ini kepada anggota keluargaku membuatku tidak nyaman. Aku juga malu mengatakan itu di hadapan kedua orang tuaku. Bahkan kepada kakakku sendiri, Liza.

Wajar, kan? Atau tidak?

Diantara teman-temanku, belum pernah ada yang berpacaran sebelumnya. Pengalaman mereka minim, sama saja denganku. Aku menerka-nerka, apakah mereka sebenarnya berbohong atau tidak. Tapi dilihat dari teman bermain kami yang hampir semuanya perempuan, kecuali Raymond. Namun lelaki itu sering mengambek dan bersikap seperti perempuan sehingga kami menganggapnya salah satu dari kaum kami, yaitu perempuan. Jadi aku benar-benar tidak bisa menemukan orang yang bisa diajak bertukar pikiran saat itu.

Pada akhirnya, aku menceritakan masalah hatiku ini kepada Amber, salah satu teman terbaikku. Wajahnya cantik, mirip seperti gadis-gadis populer pada umumnya. Rambutnya panjang, hidungnya tidak mancung, tapi cocok di wajahnya. Matanya bulat dengan bola mata kecoklatan. Amber adalah sosok gadis yang diam-diam disukai banyak teman sekelasku. Dan entah bagaimana kisahnya, aku dan dia berteman baik. Kami sering pulang bersama. Dia sering bercerita kepadaku tentang kehidupannya dan aku lebih banyak mendengarkannya. Kehidupan Amber jauh berbeda denganku. Seakan-akan ada jurang yang membedakan kaum kami. Amber yang hidup di alam mimpi, penuh kebahagiaan. Sedangkan aku hidup di alam kenyataan, dimana semuanya terasa tidak mudah bagiku.

HOW TO : FALLING OUT LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang