Chapter 3

3 0 0
                                    

RUBEN : Orang yang Salah Jatuh Cinta

Aku tidak mengerti apa yang ada di pikiran Ruben. Dari dulu sampai sekarang. Aku masih menyimpan tanda tanya itu. Apa yang disukai Ruben dariku? Apa yang membuat Ruben, teman baikku menjadi orang yang telah kusakiti berulang kali?

Aku menyesal telah membuat lelaki itu menangisiku, mungkin seperti aku menangisi setiap laki-laki yang pernah kusukai. Aku sadar menyakiti dan disakiti sudah menjadi bagian dari hidup ini, yang sulit aku pisahkan seberapa keras aku berusaha.

*

Ruben adalah teman laki-lakiku yang pertama. Aku bertemu dengannya di tempat kursus dekat rumahku, setelah 3 tahun tidak bertemu dengannya. Kami satu SD, namun tidak pernah begitu dekat karena aku orang yang pemalu. Sedangkan Ruben senang menjadi bahan pembicaraan dengan tingkah-tingkahnya yang aneh itu.

Ruben mulai mendekatiku ketika acara pembukaan tempat kursus itu berlangsung. Aku memiliki kelemahan dalam mengerti dasar matematika sehingga ibuku memaksaku belajar disana agar aku bisa bertahan sebagai "anak pintar" di kelasku. Aku tidak membencinya, karena aku pun berpikir demikian.

Acara itu berlangsung tidak begitu ramai. Siapa sih anak jaman sekarang yang masih mengambil kursus matematika? Tidak banyak yang datang, dan aku berdiri di sudut ruangan sambil memegang piring mungil berisi cheesecake dengan cherry diatasnya.

"Hai, Laura. Sudah lama kita tidak bertemu." Ucap Ruben, tiba-tiba muncul dari belakangku. Aku hampir saja tersedak cheesecake saking kagetnya Ruben masih mengingatku dan menyapaku duluan. Kami benar-benar tidak dekat waktu SD.

"Hai, Ben. Yeah..." Aku memutar kedua bola mataku, "Bagaimana kabarmu?"

"Baik. Sangat baik." Katanya menganggukkan kepalanya pelan. Ruben masih sama seperti dulu. Dia agak sedikit gemuk dan tidak begitu tinggi. Ben memiliki darah Portugal sehingga kulit lelaki itu terlihat gelap, layaknya orang-orang Spanyol. Lelaki itu memiliki freckles, namun hal itu bukan berarti Ben terlihat jelek. Dia biasa saja, menuruku. Standard.

Ben memiliki rambut yang menjulang keatas dengan postur tubuh agak besar dan tinggi. Lelaki itu menggunakan kemeja lengan pendek berwarna hijau kekuning-kuningan, warna yang cukup berani sesuai dengan kepribadiannya yang pandak melawak itu. Tetapi, aku tidak pernah tertawa dengan lelucon yang dilontarkan lelaki itu. Kurasa aku tidak memiliki selera humor yang baik.

"Aku tidak tahu kau akan mengikuti kursus disini," Ben berkata seolah-olah aku seharusnya tidak berada disini, namun bukan dalam artian yang buruk. Di sekolah, aku selalu terlihat tidak memiliki masalah dalam belajar. Aku melakukannya 3 kali lipat dari anak-anak pada umumnya. Kehadiranku disini membuktikan bahwa kerajinanku tidak cukup menyokong pelajaran matematika.

"Well, aku tidak sepintar yang kau kira." Kataku pelan. Aku sepenuhnya jujur akan hal itu, bukan merendah. Semua orang memiliki persepsi yang salah mengenai diriku. Hanya karena aku memakai kacamata dan pendiam, bukan berarti aku bisa mengerjakan matematika di sekolah.

Selanjutnya, Ben mulai bercerita mengenai sekolah barunya. Peraturan-peraturan yang membosankan. Lalu, guru-gurunya yang terlihat seperti kutu buku yang berjalan tegak. Dia menambahkan beberapa lelucon disana-sini. Aku hanya tersenyum simpul, tidak ingin mengecewakan lelaki itu dengan kenyataan bahwa leluconnya tidak membuatku tertawa. Sebagian dari pembicaran kami tidak begitu bisa kumengerti.

Kami lumayan dekat sejak itu. Ben yang selalu pertama memulai pembicaraan dan akulah yang kebanyakan menerima lontaran-lontaran pertanyaan darinya. Aku tidak terpikir untuk bertanya sesuatu kepadanya. Simply because...aku rasa aku tidak butuh jawaban apapun dari Ben.

HOW TO : FALLING OUT LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang