JAGA DIA

154 6 16
                                    

Langkah kaki ibu yang tertatih-tatih tak membuat Tondo gentar memapah ibundanya. Yang biasanya berlari kencang di lapangan hijau, melenggangkan kaki begitu bebas, kini Tondo mengikuti tempo langkahan perempuan paru baya kecintaanya. Terlihat jelas guratan-guratan di area sekitar mata. Tondo menatapnya dengan penuh kasih sayang dan kerinduan.

Sampailah Tondo di ranjang mulia sang ibu. Lantas tidak meninggalkan, Tondo justru menggendong untuk membantu ibunya beristirahat di ranjang. Sekali lagi, ia menatap perempuan yang menjadi satu-satunya tujuan hidup Tondo. Sedari tadi alis matanya mengerut bergetar guna mencegah air mata yang tertampung di kantung matanya mengalir. Gigi-gigi grahamnya pun turut menggertak guna menahan suara isak tangis. Dan tangan kanan kekar kasarnya berakhir dengan menyentuh pipi sang ibu. Ibu hanya mendenguskan nafasnya. Seakan akan sudah biasa putranya seperti ini.

"Menangis saja. Ibu ga akan melarang kamu menangis, menangis bukanlah sikap seorang pengecut, yang pengecut berpura-pura tidak ada masalah lalu pergi gitu aja"

Semakin dalam tatapan Tondo kepada ibunya. Berusaha keras ia menahan kalimat keluar dari mulutnya setelah istri dari mendiang ayahnya berkata demikian.

Tahan

Menahan begitu keras

Tahan paling luar biasa......

"Pesan terakhir ayah untuk Tondo, menjaga perempuan yang Tondo cintai dan jangan pernah menangis lagi" ucap Tondo dengan menahan nafas hingga membuat suaranya lirih. Kemudian pergi begitu saja.

Ibu terdiam, matanya mengikuti punggung lebar kekar porsi remaja putra semata wayangnya yang berbalik dan pergi meninggalkannya setelah membuka rahasia besar.

Sinar magic hour yang masuk menembus jendela besar kamar ibunda Tondo memberi kesan siluet kesedihan dari tubuhnya yang terbaring lemah di ranjang menatap tak jengah keluar pintu. Seakan-akan menantikan seseorang yang sebenarnya tak akan kembali.

Sedangkan Tondo terus mempercepat langkahnya. Ia tidak mengerti mengapa kali ini emosinya tak bisa ia kendalikan. Ia merasa sangat bodoh telah membuka rahasia terbesarnya. Tondo memang hanya berjanji untuk menepati pesan terkhir mendiang ayahnya, tetapi ia juga bertekad untuk merahasiakan pesan tersebut. Baik terhadap ibu, maupun perempuan yang nantinya akan mendampingi hidupnya.

Tondo meraih handuk yang menggantung di etalase belakang rumahnya. Tentu jika membawa handuk pasti Tondo hendak membersihkan diri sehingga lekaslah ia menuju kamar mandi. Ini lah yang biasa ia lakukan usai bermain sepak bola, melepas penat yang dikeluarkan bersama air segar dari shower yang mengalir di setiap senti kulit gelapnya. Tapi kali ini bukan karena rutinitas bermain sepak bola. Namun karena ia ingin melepaskan beban yang ada di otaknya.

Setelah menggantungkan handuk dan baju yang baru saja ia tanggalkan di tralis besi mendatar, tangannya bergerak memutar kran shower dengan penuh emosi yang masih memburu. Seakan-akan memutar roda kehidupan dari yang kelam menuju kedamaian. Air segar dan dingin segera memancar dari celah-celah shower. Pemberhentian pertama di rambut hitam rimbun kepalanya, menyibak masalah-masalah yang tak terhitung jumlahnya (rambut) kemudian meresap ke pori-pori kulit kepala untuk menelaah akar permasalahannya. Setelah mengetahui akar permasalahan, lantas air tersebut memberi beberapa pesan kepada sekawanannya yang kemudian sekawanannya pergi menuju wajah Tondo. Sekawanan air terus berjalan hingga berhenti di mata sipit Tondo yang tertutup rapat menikmati kesegaran pancaran showernya. Air-air tadi pun mengetuk kantung mata Tondo dan membisikkan pesan yang ia terima kepada air penghuni tempat tersebut bahwa air mata tetaplah disana, jangan sekali-kali keluar agar tuannya tetap menjadi lelaki yang tegar seperti yang mendiang ayahanda tuannya pinta. Perjalanan masih panjang. Usai menyapa mata, sekawanan air menyentuh bibir segar Tondo yang sedikit terbuka membuat mereka mudah menyampaikan pesan yang lain bahwa jagalah setiap kata yang hendak terucap, pilahlah sedemikian rupa agar tidak keluar kata-kata menyakiti hati seseorang. Tak jua lelah, air kembali berjalan, kali ini penuh hati-hati sebab dari wajah menuju dada bidang Tondo terjalnya cukup sulit karena posisi kepala Tondo yang sedang menengadah. Hingga akhirnya air tersebut berhasil sampai di dada bidang Tondo yang terletak tepat di atas perutnya yang sixpack. Ini lah pemberhentian terakhir sekawanan air tersebut. Mereka mengalir di sekitar dada untuk mencari pori-pori yang lebar agar mudah mereka resapi. Hingga mereka menemukannya dan segera masuk menuju hati. Disanalah sekawanan air bermuara dan menyampaikan pesan terakhirnya.

STAND BY METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang