"Are you okay?" tanya Varza.
Lagi dan lagi aku hanya diam tak menanggapi ucapan Varza. Bukan aku tak ingin menjawab, namun seharusnya Varza sudah tau kalau aku tidak baik-baik saja. Tapi dia dengan bodohnya menanyakan hal itu padaku.
"Gue gak tau lo cukup goblok apa gimana sampe gue kayak kini masih lo tanyain baik-baik aja." Jawabku pada akhirnya.
Bukannya merasa salah Varza malah menjawab, "Gila! Lo jawab berapa kata tadi? Satu.. dua.. ti.. 17 kata!! Akhirnya, Resya bisa ngomong!"
Aku hanya menghembuskan nafas. Lelah dengan drama sok kocaknya.
Varza yang sepertinya sadar akan kelelahanku, langsung diam. Berjalan mendahuluiku lalu berhenti tepat di depanku. Ah aku tau, mungkin dia mau ceramah.
"Gue tau setelah kedatangan dia mungkin semua gak akan baik-baik aja." Kata Varza. Aku hanya tersenyum getir mengingat apa yang dikatakannya itu benar.
"Tapi kalo lo masih terjebak masa lalu, itu gak akan memperbaik keadaan." Aku terdiam meresapi setiap kata yang diucapkan sahabatku itu.
"Setiap orang pasti punya pengalaman buruk. Entah dicampakkan, dikhianati, atau.. lebih parahnya ditinggalkan." Aku tercekat tanpa suara.
"Tapi yang membedakan mereka adalah.. bagaimana cara mereka agar tidak terpuruk oleh keadaan."
Aku menatap mata coklat Varza. Tatapan itu entah mengapa selalu menyiratkan ketulusan. Walaupun tingkahnya kadang kekanak-kanakan, tetapi dia selalu bersikap lebih dewasa dari aku.
"Gue tau itu semua, Var." ucapku pada akhirnya. "Tapi pada akhirnya walaupun sudah disembuhkan, pasti luka akan tetap membekas."
Aku tersenyum miris mengingat kalimat yang baru kuucapkan. Ya mau sekecil apa pun luka, bekasnya tak kan pernah hilang. Seperti kenangan. Mau sehebat apa pun kau melupakannya, pasti akan selalu tersimpan di memori otak kita.
"Udah kan ngomongnya? Gue duluan."
Aku meninggalkan Varza. Meninggalkan percakapan yang menurutku tak bermanfaat. Meninggalkan serentetan kejadian yang membuatku mati gaya.
--
"Kenapa malem ini mendung?"
"Karna mau ujan, bang."
"Kenapa abang cilok kagak lewat?"
"Karna mau ujan, bang."
"Kenapa gue punya adek rese' banget?"
"Karna abangnya lebih rese' daripada adeknya."
Aku melotot ke arah adikku, Rendra, sedangkan yang dipelototi hanya cengengesan gak jelas. Rasanya ingin kujatuhkan dia dari lantai dua rumahku ini.
"Lagian abang daritadi ngelamun mulu, kenapa sih bang? Galau?" tanya adekku kepo.
Aku hanya melirik sinis kepada dia. Emang dia tau definisi galau apa. Umur baru sebiji jagung aja udah tau galau.
"Dih apaan coba, lagian ngapain lo kesini? Mau ngejek gue doang?" lirikku sinis.
Adikku tertawa kecil melihatku, "Iya nih, lagian kasian sih abang gue yang ganteng ini galau. Kan lumayan ada bahan ejekan." setelah mengatakan itu adekku tertawa kencang.
Aku yang mendengarny yang tadinya kesal sekarang bertambah kesal. "KELUAR LO DEK! DASAR PANTAT KUDA!"
Rendra tertawa sangat keras sambil berlari menghindariku yang sedang dilanda emosi. Dia akhirnya keluar lalu menutup pintu. Namun saat aku ingin kembali melihat ke luar...
"BANG! KALO SAYANG YA DICARI, GAK CUMA DIEM AJA!"
Terdengar teriakan adikku dari luar. Dan mendengar hal itu aku pun sadar. Selama ini aku hanya menunggu melihatnya. Bukan mencari agar terlihat olehnya.
Oleh Resyaku.
--
Buru buru cyin bikinnya. Tugas numpuk.
08.04.16
KAMU SEDANG MEMBACA
Feelings
Teen Fiction"Res," "Hm?" "Dia balik." "Siapa?" "Diaaaa," "Iya, gue bilang sia--," "Wildan." aku membeku mendengar namanya. "Dia disini..." lanjutnya. "Di sekolah kita." -- Resya Maharani tak menyangka bahwa Wildan Satya Permana akan datang setelah sekian tahun...