Prologue

77 8 7
                                    

Lift-nya berdenting nyaring, hingga pintu besi itu akhirnya terbuka otomatis.

High heels yang kugunakan menghasilkan suara bergemeletuk setiap kali aku mengambil langkah diatas lantai marmer yang mendasari bangunan ini.

Tanpa ragu, kakiku terus melangkah. Setiap belokan dan lorong-lorongnya sudah kuhafal diluar kepala. Ya, meskipun sudah terhitung cukup lama sejak terakhir kali aku kemari.

Hingga tibalah aku di lorong terakhir, yang mana dinding-dindingnya dilapisi penuh oleh cermin. Sekilas, kulihat bayangan tubuhku dari cermin-cermin itu. Secara fisik, semuanya masih sama. Tapi tidak dengan jiwaku, sepertinya. Tempat ini selalu berhasil memunculkan sisi gelap dalam diriku. Meskipun mungkin hanya aku yang bisa melihatnya.

Langkahku terhenti tepat di depan pintu berlapis terali besi. Di bagian samping pintu, terdapat sebuah panel kecil. Fingerprint scanner. Kutempelkan ibu jariku disana, hingga alat itu berdenting dan memunculkan cahaya hijau. Tanda aksesku diterima.

Pintu beserta teralinya terbuka, menampilkan sosok dua laki-laki kekar yang sudah kuhafal wajahnya.

"Ms. Phoenix, Anda sudah ditunggu," ucap salah satu penjaga tersebut.

Aku mengangguk dan mulai masuk. Menyusuri kembali lorong pendek yang berujung pada sebuah pintu ganda besi.

Senyumku merekah tanpa sadar. Rasanya senang bisa berpulang kembali ke rumah. Tempat dimana aku bisa kembali berkumpul bersama orang-orang yang kusebut keluarga. Ah, aku bahkan baru sadar kalau aku sudah begitu homesick.

"Ah, G. Kau sudah datang, rupanya," aku baru saja berhasil masuk melewati pintu besi ketika suara itu terdengar. Kuputar tubuhku ke belakang, tepat di mana suara serak itu berasal.

Seorang laki-laki bermata biru berdiri tak jauh dari tempatku. Senyumnya yang begitu hangat membuatku ikut tersenyum lebar. Dan selanjutnya, kudapati diriku berada dalam pelukannya.

Ia terkekeh dan membalas pelukanku erat. "Sudah lama tak mampir, dan kau sepertinya benar-benar merindukanku," dia mengacak pelan rambutku. Hal yang selalu ia lakukan setiap kali kami bertemu.

Aku terkekeh sembari membenarkan letak rambutku yang berantakan karena ulahnya. "Kurasa ada hal yang besar yang terjadi, hingga kau jauh-jauh memanggilku," kucoba untuk membuka pembicaraan yang lebih serius. Karena kutahu, apapun yang terjadi selanjutnya, pasti merupakan hal penting.

Dia mengangguk-anggukkan kepala. Membenarkan ucapanku. Melepaskan pelukannya, ia pun memberikan isyarat agar aku mengikutinya.

Dia membawaku menuju sebuah pintu di sisi kanan. Ruang pertemuan.

Pintu terbuka, dan di dalam sana, kudapati beberapa anggota keluarga sudah berkumpul. Mereka duduk di kursi yang tersebar mengelilingi meja besar.

"Hi, G. You look so amazing as always," laki-laki berkulit hitam yang pertama kali menyapaku. Dia Vincent--si hitam dengan tangan mekaniknya yang luar biasa.

Di sebelahnya, ada Zac dan Bill yang duduk berpangkuan. Pasangan gay itu memang tak pernah malu untuk menunjukkan kemesraannya. Tapi harus kuakui, mereka adalah pasangan dengan otak dan insting analisis tertajam yang pernah kukenal.

Sementara di kursi seberangnya, Kelly melemparkan senyum manis padaku. Hanya dia perempuan yang ada disini--selain aku tentunya.

Aku duduk tepat di sebelah Kelly, sebelum Vincent melemparkan sebuah amplop cokelat padaku. Aku tersenyum lebar, sudah bisa menebak apa isinya.

Kubuka amplop itu. Menarik selembar kertas yang ternyata adalah tiket pesawat.

Sudah kuduga, benda ini pasti muncul.

Selanjutnya, selembar foto dengan lima wajah di dalamnya.

Hening sejenak, sebelum tawaku akhirnya menggema, "You all fucking kidding me?"

Kulemparkan pandangan bertanya pada Vincent. Tapi ia hanya membalasku dengan senyum miring penuh maknanya.

"$500.000 untuk ini. Aku tahu kau tak akan sebodoh itu untuk menolaknya," suara Bill yang menjawab.

Sebuah kartu identitas mendarat di depan mataku. Kali ini, tangan Bill yang melakukan itu. Entah sejak kapan ia berpindah dari pangkuan Zac.

Kuambil kartu identitas itu. Membaca sederet nama yang tertera disana keras-keras.

"Tokoh baru, untuk cerita baru," ujar Zac selepas aku membacakan kartu itu.

Sebuah senyum lebar tersungging dari bibirku. Sudah lama aku tidak merasakan ini. Saat dimana tantangan membuat adrenalin mengalir di seluruh tubuhku. Membuat jantungku memompa lebih cepat.

"Yeah. Just tell me the plan, and I'll finished it."

Kelly tersenyum miring, "Whoaaa, eager that much, honey?"

"This is a big gambling for your reputation. Entertaiment world is such a deep shit. U sure you're ready?" Bill menambahkan, seolah sebelumnya bukan dia yang mengataiku bodoh jika sampai menolak misi ratusan ribu dolar ini.

"You know I never failed."

Semua orang tersenyum.

"Play safe, then."

Published at 17th April, 2016.

Edited at 19th June, 2017.
(It's been more than a year, I know😧)

Whelve [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang