"Oh, shit."
Aku menggeram kala mendapati jam digital di dashboard mobilku sudah menunjukkan pukul 11.25 P.M.
I'm fucking late tonight.
Kuambil purse kecilku dari passenger seat, sebelum akhirnya menghambur keluar dari mobil.
Langkahku bergegas menuju bangunan gemerlap di hadapanku. Tempat yang tak lain adalah pusat destinasi masyarakat London di malam weekend; Nancy's lounge and club.
Kupaksakan sedikit senyum pada dua security yang berjaga di pintu masuk, sebelum kemudian mendorong kasar pintu gandanya.
And yuuuuuup... this place is bustling.
Kuterobos tubuh-tubuh berbau alkohol yang menghalangi jalanku. Plus beberapa pelototan tajam bagi para pria kurang ajar yang berani mencolek sedikit pun bagian tubuhku.
Area dancefloor-nya cukup ramai begitu aku tiba. Tapi setidaknya, ini tak seburuk kemarin. Beberapa anak di bawah umur yang kekurangan tempat makeout, kini tak lagi tampak. Yah, meskipun keberadaan beberapa perempuan penggoda masih cukup membuatku risih.
"Lagi-lagi lagu yang sama, uh?" ledekku kepada Sean yang wajahnya sudah bertekuk-tekuk karena bosan. Dia sudah melepaskan diri dari dari alat-alat kerjanya. Membiarkan lagu standar yang sudah sangat bosan kudengar itu, terputar secara otomatis.
Dia mendelik kesal, "Dan kau, lagi-lagi datang terlambat, uh?"
Tawaku pecah. Salahku juga karena terlambat hampir setengah jam. Lelaki itu pasti sangat kesal karena jadwal shift-nya terulur lebih lama.
"Sudah pulanglah sana. Aku tahu kau sudah merindukan Netflix dan sofa empukmu."
Sean melotot, lengkap dengan jari tengahnya yang teracung untukku. Dia paling benci kalau aku sudah mengolok-oloknya seolah dia anak rumahan. Karena nyatanya memang tidak. Dia itu fuckboy.
"Pesanlah beberapa gelas cocktail agar wajahmu tak tak terlihat seperti laki-laki yang gagal mendapat buruan malam. Imma treat you tonight. Kita impas?"
Kalimatku yang ini membuat senyum lebar Sean berkembang seketika. Sedetik kemudian, dia bahkan sudah menghilang dari hadapanku.
Ya. Sean memang punya kemampuan luar biasa untuk membuat dompet temannya menjerit. Dan malam ini, aku dengan bodohnya justru menumbalkan diri untuk menjadi teman malangnya itu.
Menepiskan segala kemungkinan terburuk tentang Sean dan tagihan yang akan dibuatnya, aku mencoba untuk kembali bersikap profesional. Biar bagaimanapun, aku masih punya pekerjaan yang menunggu.
Kulepaskan jepit rambut perak yang menggulung rambutku sejak tadi. Membiarkan seluruh euforia yang ada di tempat ini menyerap ke dalam tubuhku.
Lalu dengan langkah pasti, kuposisikan diriku di atas podium kecil di sudut area dancefloor. Tempat yang kalian kenal sebagai DJ booth.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whelve [ON HOLD]
Hayran Kurgu"You can't trust anyone," I said quietly, almost not noticeable. His eyebrows furrow, seems don't understand with my words. His irresistible green eyes keep staring at me. I feel empty, somehow, as I pulled myself from his lap and cut off our eye co...