SATU

28K 1K 34
                                    

Kantin kita—tempat tongkrongan paling populer dan paling dekat dengan kantor—agak sepi siang ini. Meja makan yang ditata berbaris cukup rapat dan rapi di dalam ruangan 15x20 meter ini tampak lengang. Hanya ada beberapa orang di Kantin Kita dan mayoritas adalah perempuan. Sementara lelaki yang makan siang di kantin ini jumlahnya bisa dihitung jari.

Pemandangan seperti ini lazim terjadi setiap hari Jumat, di mana para lelaki yang biasanya memadati hampir setiap sudut meja sekarang sedang memadati masjid untuk salat Jumat. Biasanya mereka baru akan memadati Kantin Kita sekitar pukul setengah satu usai sholat Jumat. Ketika waktu itu tiba, artinya saat bagiku untuk kabur ke kantor dan membuang sisa waktu istirahat dengan menonton video atau melihat-lihat beranda instagram.

Aku sudah menghabiskan lebih dari separuh makan siang ketika pukul setengah satu akhirnya tiba. Beberapa laki-laki mulai memenuhi kantin. Aku berusaha mengunyah lebih cepat agar bisa segera menyingkir sebelum tempat ini menjadi penuh sesak oleh bludakan laki-laki kelaparan yang baru keluar dari masjid.

"Citra!"

Abi tersenyum padaku dari kejauhan. Seperti biasa, wajahnya yang begitu manis terlihat bersinar setiap habis salat, kini sedang tersenyum padaku. Abi mempercepat langkahnya menghampiriku.

"Mau ke mana?" tanyanya.

"Ke kantor lah, gue udah selesai makan."

"Buru-buru amat. Entar aja, masa lo tega biarin gue makan sendirian?"

"Memang Mas Rahman sama si Ferdi kemana?"

"Mereka bawa bekal. Duduk lagi gih, gue teraktir capucino deh," rayu Abi.

"Gue udah ngopi," dustaku.

"Ya udah, gue beliin jus alpukat. Lo suka jus alpukat, kan?"

Pantang menyerah banget sih ini cowok? Dasar nggak peka. Sudah tahu aku malas menemaninya. "Ya udah deh," kataku akhirnya.

"Nah, gitu dong. Tunggu ya."

Akhirnya aku mengurungkan niat untuk kembali ke kantor. Abi menghilang di antara kerumunan pengunjung kantin untuk memesan makanan dan jus alpukat untukku. Benar saja dugaanku tadi. Tak sampai lima menit, kantin yang semula agak sepi dan mengasyikkan mendadak menjadi pusat keramaian. Suara orang bercakap-cakap terdengar dari berbagai arah, mengalahkan alunan musik dari radio yang memang disediakan di kantin itu. Sebenarnya aku malas berada di sini. Tapi Abi sudah memintaku menemaninya dengan iming-iming jus alpukat kesukaanku.

Seberapa dekat aku dan Abi? Bisa dibilang sangat dekat. Aku mengenalnya sejak diterima di Indoforce Corporation, tepatnya sekitar tiga tahun lalu. Aku bekerja sebagai staf akunting. Abi juga bekerja di divisi yang sama sehingga selama beberapa bulan pertama dialah yang mengajari dan mengenalkan aku dengan pekerjaanku. Meja kerjaku dan Abi terletak bersebelahan sehingga tak mengherankan kalau kami menjadi sangat akrab.

Menurutku Abi cukup menawan. Dia tinggi, mempunyai kulit cokelat terbakar, alis tebal dan rapi, mata yang indah, hidung yang cukup mancung, dan bibir yang seksi. Beberapa bekas jerawat terlihat di pipi dan dagunya, tapi itu sama sekali tidak mengurangi ketampanannya. Selain itu, Abi juga lucu dan pandai mencairkan suasana. Dia selalu bisa menghadapiku yang dingin dan cuek, di saat pria normal dengan otak waras pasti akan menghindariku.

Tapi sayang, di balik semua kesempurnaan yang dimiliki Abi miliki, dia seorang playboy ulung. Indoforce punya lebih dari delapan puluh karyawan dan sekitar seperempatnya adalah perempuan lajang yang cantik dan lihai berdandan. Abi pandai beramah-tamah dan suka bercanda. Tak jarang ia karyawan wanita hingga beberapa di antaranya jatuh cinta pada Abi. Menyedihkannya, mereka berakhir dengan patah hati karena Abi tidak membalas cintanya. Tak hanya mereka, aku pun sering menjadi objeknya. Dia menggodaku hampir setiap hari, hingga aku kebal dengan semua gombalannya.

MISS DESPERATE (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang