Akibat datang terlambat, aku terpaksa makan siang sambil bekerja. Aku meminta tolong pada OB untuk membelikan roti bakar. Selagi kantor cukup sepi, aku menyetel album Westlife untuk merilekskan otak yang pusing melihat tabel. Ponselku mendadak berdering menyela pekerjaanku. Eyang Putri yang menelepon.
"Halo. Assalamu'alaikum, Eyang?" sapaku sambil menahan ponsel dengan pundak dan pipi karena tanganku sibuk mengetik.
"Wa'alaikumsalam, Nduk. Apa kabar kamu? Sehat kan? Kerjaan kamu lancar?" Eyang Putri melontarkan pertanyaan yang selalu jadi awal percakapan kami.
"Iya, alhamdulillah. Ada apa, Eyang?"
"Dua minggu lagi Putri, adik keponakanmu mau tunangan. Kamu datang ya, Nduk."
"Oh ya? Hari apa?" kuhentikan pekerjaan demi mendengar kabar menarik ini.
"Hari Sabtu. Eyang sengaja pilih akhir pekan biar kamu bisa datang. Tadi Eyang juga sudah kabari Ibu sama Bapakmu. Mereka mau berangkat hari Rabu biar bisa bantu-bantu. Risya juga pas libur kuliah, jadi mereka berangkat duluan."
Aku tersenyum. "Insya Allah, Eyang. Kalau nggak ada halangan aku pasti datang. Titip salam buat si Putri ya."
"Iya, Nduk. Nanti Eyang sampaikan. Kamu udah mau dilangkahin lagi sama adik sepupu kamu lho, Nduk. Kapan kamu mau nyusul?"
Kujauhkan ponsel dari mulut dan melenguh pelan. Lagi-lagi Eyang melontarkan pertanyaan menyebalkan itu. Ugh, bisakah Eyang sekali saja tidak mempertanyakan itu? "Ehm..."
"Kamu ajak calon kamu ya, Nduk. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam," jawabku datar dan sambungan telepon pun langsung terputus.
Aku menyesap kopi susu dan memijat pangkal hidung. Kabar pertunangan Putri memang membuatku turut senang—dan sedikit minder. Aku juga tak sabar pulang kampung untuk menghadiri pertunangan Putri. Tapi perintah Eyang tadi seperti teror. Eyang menyuruhku membawa calon. Yang benar saja? Aku bahkan belum melihat tanda-tanda lelaki mendekatiku. Lantas siapa yang akan kubawa pulang kampung? Ya Tuhan, kenapa nasib seorang jomblo selalu menyedihkan? Perintah itu membuatku semakin putus asa.
Aku tidak menyalahkan jika Eyang menyuruhku membawa calon. Aku sudah hampir berusia dua puluh tujuh tahun dan masih berstatus single tanpa ada lelaki mendekat. Seharusnya aku sudah menikah atau bahkan punya anak. Aku juga sudah dilangkahi dua adik sepupuku yang selang waktu pernikahannya tidak jauh berbeda.
Kalau aku pulang kampung tanpa menggandeng lelaki, aku sudah bisa membayangkan dengan jelas apa yang akan terjadi. Beberapa hari di sana pasti akan seperti mimpi buruk. Di depan semua tamu Eyang akan menanyakan siapa calonku. Dan saat aku hanya bisa menjawab "tidak ada" Eyang akan berkicau mempermalukan aku. Tak hanya itu, beliau juga akan membandingkan aku dengan saudara-saudaraku yang lain—tak terkecuali Risya—yang sudah punya pacar.
Tubuhku menegak cepat. Tidak! Aku tidak akan menyerah semudah itu. Aku tidak akan membiarkan harga diriku terinjak-injak hanya karena tidak punya pacar. Aku akan mencari cara untuk mempertahankan harga diriku sebagai cucu pertama dan tertua Eyang. Sekalipun cara itu sangat gila, aku akan melakoninya.
***
Malam ini aku ingin pergi. Seperti biasa, Pondok Melati adalah pilihanku. Aku suka kafe itu. Menunya beragam, tempatnya cozy, dan ada live music setiap malam. Live music di sana memang tidak sehebat band papan atas, tapi menurutku mereka bernyanyi dengan cukup bagus. Mereka memiliki gaya yang khas, permainan musik akustik yang easy listening, dan lagu yang mereka bawakan juga bagus dan berkelas. Tak hanya itu, penyanyi band kafe itu cukup tampan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISS DESPERATE (Sudah Terbit)
Literatura Feminina(PREORDER) #26 In Chicklit 14 Februari 2017 Wanita ini begitu putus asa dengan kisah cintanya yang selalu kandas. Belum lagi tekanan dari keluarganya yang kolot dan ingin dia segera menikah. Bagaimana wanita ini menghadapinya? Masih bisakah dia mend...