III. Meet and Greet

559 74 47
                                    

Detik akan berubah menjadi menit, kemudian menjadi jam, hari, minggu, bulan, dan akhirnya menjadi tahun.

Kuingat detik pertama kala melihatnya. Pertama kali melihat pesona yang tersembunyi pada dirinya.

Dan kini, detik-detik itu sudah terlewati dan menyisakan berbagai kenangan bagi diriku.

Kenangan itu tumbuh menjadi suatu yang manis.

Apakah ini yang dinamakan cinta?

Entahlah.... Aku belum benar-benar menyadarinya. - Widia Putri

Detik pertama ketika aku menatap mata hitam indah miliknya adalah ketika cintaku ditolak oleh gadis yang kupuja.

Aku masih ingat, betapa kurang ajarnya diriku yang menepis kasar tangan lembut miliknya.

Aku sempat marah kepada Mu, Tuhan. Namun, sekarang aku menyadari bahwa rencanamu lebih indah dari yang aku rencanakan. - Peter

🍀 🍀 🍀

"Huacihh!!!"

Aku menggigil, meraih selimut tebal untuk melindungiku dari kedinginan yang menusuk.

Sungguh mengecewakan. Di musim gugur pertamaku ini, aku harus mengalami demam yang cukup parah. Memang, musim gugur di Canada lebih dingin karena letak geografisnya yang dekat kutub.

Dan sekarang aku hanya bisa terbaring lemah di kasurku dengan kompresan dan selimut tebal yang melingkupiku.

"Seharusnya kau memberitahuku kalau kausakit."

Ia datang dengan semangkuk bubur dan segelas air putih di nampan yang ia bawa. Melangkah dengan santai, namun tetap menjaga keseimbangan agar makanan dan minuman itu tidak terjatuh.

Ia menaruh nampan itu di nakas sebelah kasurku. Mengambil termometer dan mengecek suhu tubuhku.

"Makanlah bubur itu selagi hangat, aku akan membeli obat," ucapnya seraya mengusap puncak rambutku lembut.

Aku pun memakan bubur buatannya. Rasanya hambar. Tapi, bukankah ini yang dirasakan oleh orang sakit jika memakan makanan walau enak sekalipun?

Tak berselang lama, ia pun masuk kekamarku sambil membawa plastik yang berisi obat penurun demam.

Ia duduk di kursi yang disediakan di samping kasurku. Menatapku yang sedang memakan bubur buatannya dengan serius dan membuatku sedikit risih.

"Jangan memandangiku seperti itu," kataku pelan.

Ia pun mengerjapkan kedua matanya dan terkekeh pelan.

"Baiklah. Habiskan makananmu dan," ia mengedarkan pandangannya, "bolehkah aku melihat-lihat isi kamarmu?" tanyanya seraya berdiri.

"Boleh, asal jangan berani-berani kaubuka lemariku!" tegasku padanya yang dihadiahi anggukan mantap pemuda itu.

Kini aku dapat tenang memakan bubur itu. Setelah selesai, aku pun meminum air putih dan menaruhnya di nampan tadi.

"Terima kasih, Peter. Maaf merepotkan."

"Tidak apa-apa, kok."

Aku pun memperhatikannya yang sedang berjalan-jalan di kamarku. Ikut terkekeh bersamanya saat ia menunjuk foto-foto masa kecilku yang terpajang rapi di dinding.

"Ini siapa?"

"Itu sahabat-sahabatku di Indonesia!" jawabku semangat.

"Apakah kaurindu dengan mereka?"

Photograph [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang