Aku melihat sebulir air mata jatuh dari pipinya ketika sisa dinding terakhir turut roboh bersama dentuman yang merangkul semesta malam. Di atas bukit, dua kaki telanjang kami berpijak, gemetar karena dua hal; satu, diguncang getaran pasca ledakan yang merambah seluruh wilayah perbukitan; dua, karena tak kuasa menahan emosi yang tumpah ruah di dalam dada. Rumah kami baru saja hancur; ditelan asap membumbung, diratakan dengan tembakan artileri yang juga meluncur di setiap sudut negeri.
Lautan api berkobar di bawah kami. Bangunan-bangunan yang dulu pernah menjadi ladang kebahagian kami, tempat bernaung juga saling berbagi kini rata dengan tanah. Sekolah, rumah, gedung kepala desa, perkantoran, semuanya sama, hanya menyisakan puing dan kenangan di benak mereka yang memiliki keterikatan khusus dengannya.
Perang membumihanguskan semuanya. Tidak peduli siapa yang benar atau pun salah. Anak-anak, remaja tanggung, orang tua; semua orang kehilangan arah, tidak tahu kemana lagi harus melangkah, atau menentukan tujuan demi kehidupan di masa depan. Segalanya hancur, luruh, bersama harapan yang saat ini tengah berada dalam titik stagnan. Mereka bilang tidak akan ada warga sipil yang diserang. Nyatanya, itu hanya bualan. Selalu ada warga negara tak bersalah yang dikorbankan untuk meraih kemenangan di masa perang. Pun begitu dengan kampung kami yang hanya secuil noktah dalam peta wilayah perbatasan.
Kutatap sosok Sofia yang mencoba tegar meski gemetar merengkuh sekujur badan. Dia masih memakai baju tidurnya. Gaun lusuh yang berpulas lumpur dan jelaga di hampir semua ujung-ujung lipatannya, menyisakan hanya sedikit warna asli samar di sudut terdalam yang nyaris tidak terlihat oleh mata. Ia bahkan tidak sempat berganti baju karena serangan malam ini begitu tanpa aba-aba. Kami meloncat bangun dari tempat tidur dan berlari keluar kampung tepat beberapa detik sebelum segalanya luluh lantak. Efek ledakan artileri cukup untuk membuat kami terjerembab ke dalam lumpur basah sisa hujan semalam, tetapi untungnya tidak mencederai kami.
Kami terseok, tersaruk melintasi jalanan gelap yang hanya ditemarami oleh sinar bulan menuju wilayah perbukitan. Sebagian yang hidup ada bersama kami. Sebagian yang lain (yang lebih beruntung karena tidak perlu lagi mengalami kekejaman perang semacam ini) turut terkubur bersama puing-puing rumah mereka.
"Sofia...," sahutku pelan, meraih atensi si gadis remaja dari bekas kampung halamannya yang tengah mengobarkan bara. Tidak ada jawaban yang dilontar, tetapi manik cokelat berselaput genangan air miliknya kini terarah kepadaku.
"Maaf, ya. Kakak tidak bisa melindungi rumah kita." Kuucap kata itu beriringan dengan genggangam yang mengerat pada jemarinya. Aku ingat tatapan yang mirip pernah diberikannya padaku delapan tahun lalu, kala kami yang sudah yatim karena kehilangan ayah harus jadi piatu setelah ibu meninggal dalam wabah penyakit yang menyerang seluruh perkampungan. Sofia menangis semalaman, menolak makan dan terus bertanya kenapa ibu tidak pulang. Aku yang waktu itu tidak mampu menjawab hanya mampu merengkuh bahunya lalu memeluknya erat, dalam lamat mengucap janji untuk menjaga rumah kami tetap kokoh berdiri. Bahwa walau apapun yang terjadi-meski ayah dan ibu tidak di sana lagi-rumah itu akan selalu ada sebagai tempat kembali. Lantas, siapakah yang patut disalahkan ketika janji yang sudah kuumbar ternyata berubah menjadi sekadar memori tanpa bukti?
Sofia tersenyum tipis, mengusap jejak air mata yang pernah singgah di pipinya. Noda cokelat kini menyebar kemana-mana. "Tak apa, Kak," sahutnya pelan sambil kembali menaikkan kedua ujung bibir, "yang penting Kakak selamat."
Aku sama sekali tidak mendengar isakan yang kupikir bakal keluar setelah melihat setetes air matanya jatuh tadi. Dia terdiam sesaat, membiarkan embusan angin malam menyela konversasi kami. Udara terasa kering. "Lagipula, yang kubutuhkan bukan naungan fisik untuk pulang, Kak," lanjutnya lagi.
Satu tarikan napas dan satu embusan pelan. "Aku lebih butuh seseorang, yang akan membuatku merasakan rumah di mana pun aku berada. Seseorang yang bisa membuatku merasa menjadi diriku sendiri, bukan orang lain." Ditumpuknya telapak tangannya yang bebas pada genggamanku. "Seseorang yang akan menyambutku dengan ucapan'Selamat datang' ketika kusahutkan kata 'Aku pulang'."
Mungkin aku salah. Seperti seorang kakak yang selalu menganggap adik kecilnya akan tetap menjadi adik kecilnya, aku salah. Tatapan yang Sofia berikan malam ini bukanlah tatapan yang serupa dengan milik bocah perempuan cengeng berumur tujuh tahun yang selalu merengek digendong punggung tiap kali rasa lelahnya melambung bertahun-tahun yang lalu. Ada ketegasan yang kini mampu dipancar maniknya. Kesedihan tetap ada di sana, tapi bukan dominasi sempurna. Kelembutan, dan kekuatan seorang gadis bercampur di setiap binarnya. Sofia mampu mengambil sikap jauh lebih dewasa dari apa yang kusangka. Dia beranjak dewasa tanpa aku benar-benar menyadarinya; dan kali ini, semangatnyalah yang mengembalikan harapanku, bukan sebaliknya.
Di atas bukit malam itu, kami mengeratkan genggaman; saling menyampaikan sejuta pesan walau tanpa kata, hanya lewat gesekan ari jemari saja. Perang mungkin masih berkecamuk di seluruh negeri. Tidak akan pernah ada tempat aman hingga semuanya diakhiri. Akan tetapi, kami tahu, selama kami saling memiliki, selalu ada tempat untuk kembali.
~Fin
KAMU SEDANG MEMBACA
a Place Called Home
Fiksi Penggemara Place Called Home 2016 © zero404error 17's Vernon Hansol Chwe (as me) & his sister Sofia Ficlet (770 wc) || G || AU, Slice of life, Family, Historical (without spesific event) I own nothing except the plot! pic source 세봉노예 via pledis17 . Karena se...