Heroine : Rap Monster (Kim Nam-Joon)
"Papa, Papa!"
Bocah laki-laki berumur lima tahunan berlari kecil menembus rintik salju. Kakinya yang beralaskan sepatu keluaran terbaru tampak lincah menapaki trotoar. Lelaki tanggung berwajah maskulin yang merupakan figur ayah bagi anak tersebut berjalan santai sekitar lima meter di belakangnya. Mata tajamnya mengekor kemanapun buah hatinya melangkah.
"Papa, Papa!" ulangnya lagi.
"Hm?"
"Terima kasih," tutur si kecil sembari memamerkan deretan giginya – bagian depannya goyang, mengingatkan sang ayah agar segera membawanya ke dokter.
"Terima kasih? Untuk apa?" Goda Kim Nam-Joon. Telapak tangannya yang besar mampir pada surai berkilau putranya – persis seperti warna rambut ibunya – dan mengacak-acaknya dengan gemas.
"Sepatu! Sepatunya!" Ujung telunjuknya terarah ke bawah.
"Wah, uri Nam-Soon, apa kau menyukai sepatu yang Papa belikan?" Tanya Nam-Joon seraya berjongkok di hadapan Kim Nam-Soon yang kini terdiam.
"Suka! Sangat suka!"
"Kalau begitu cium Papa!"
Tanpa perlu pikir panjang, Nam-Soon pun menuruti permintaan ayahnya dengan senang hati. Melihat tingkah putranya yang menggemaskan itu membuat Nam-Joon tergelak. Anak yang sangat manis, batinnya. Sebagai balasannya, Nam-Joon menawarkan tumpangan pada Nam-Soon untuk naik ke punggungnya. Bocah itu pun mengangguk kegirangan.
Sepanjang perjalanan pulang dari outlet, keduanya tak henti-hentinya bercakap-cakap dan bersenda gurau. Mereka membicarakan apa saja yang menarik untuk dibicarakan, mulai dari PR menggambar Nam-Soon hingga kartun baru di TV.
"Kami pulang!" teriak Nam-Joon menggelegar hingga ke ujung lorong.
"Mama, Mama, coba lihat ini!"
Belum sempat Nam-Joon merendahkan tinggi badannya, dengan cekatan Nam-Soon melompat dari punggungnya dan menghambur ke arah wanita berambut pirang yang tengah sibuk menata piring di ruang tengah. Perempuan itu sedikit terkejut, namun wajahnya kembali tenang mendapati sosok yang tengah melonjak-lonjak disampingnya adalah putranya. Ia pun mengulas senyum tanpa berhenti menyambung aktivitasnya.
"What's up, Jagoan?" tanyanya.
"Papa beli sepatu baru! Ini, lihat ini!" Tak sabaran, Nam-Soon menggamit lengan ibunya demi mendapat perhatian penuh. Ia berhasil, Kattie menoleh dan memasang ekspresi terkejut yang natural.
"Omo, lihat itu, apa itu seperti yang kita lihat di TV kemarin?" pancing Kattie. Nam-Soon mengangguk kuat-kuat sebagai jawabannya.
"Bagus sekali! Apa Nam-Soon suka?"
"Tentu saja! Ini sangat keren!"
Setelah berucap demikian, anak tersebut berlari mengelilingi seluruh ruangan dan hanya berhenti untuk menyalakan plasma TV di sebelah. Begitu tayangan favoritnya muncul di layar, dengan tenang ia duduk pada sofa dan menikmati program kesukaannya itu. Orang tuanya yang mengawasinya dari jauh hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala, tidak sepenuhnya paham dengan kelakuan putranya.
"Nam-Soon meninggalkan jejak basah dimana-mana," racau si pria memulai percakapan,"Ia terlalu senang sampai-sampai lupa melepas sepatunya."
"You two are similar," imbuh Kattie,"Kalian berdua sama saja!"
"Aku tidak lupa–"
"Lihat itu."
Melalui kerlingan matanya, perempuan kelahiran Atlanta – Amerika Serikat – itu menandai permukaan lantai yang warnanya berubah gelap karena genangan air. Ia tahu tidak mungkin anak kecil memiliki ukuran kaki sebesar itu, sebab itulah ia tanpa ragu menuduh suaminya, dan,"Kau mau melakukan pembelaan, Mister Kim?"
"Tidak sama sekali, Ma'am." Malu, Nam-Joon bergegas meraih gagang pel dan menyeka sisa-sisa perbuatannya tanpa mengeluh sama sekali. Kecuali, menggigit bibir bawahnya dan sesekali melirik pada Kattie yang tampak puas.
"Belilah yang baru," celetuk Kattie seusai meletakkan perlengkapan makan terakhir. Sekarang ia sibuk mondar-mandir dari pantry ke ruang tengah karena harus menyajikan santapan malam untuk keluarga kecilnya, sedangkan Nam-Joon sendiri terpekur di atas kursi yang ditariknya asal. Ia menggeleng, lalu menggumamkan sesuatu.
"Sepatuku masih bisa dipakai, kok."
"Alasnya sudah berlubang," tegas Kattie,"Salju selalu merembes masuk dan membasahi kaus kakimu. Aku heran, apa kau tidak merasa kedinginan?"
"Sepertinya kakiku sudah mati rasa," jawab Nam-Joon tak serius,"Dan lagi, percuma saja beli yang baru. Kau tahu sendiri aku mudah sekali merusak barang-barang, bahkan perabotan rumah juga pernah jadi korban! Tidak lama pasti sudah rusak lagi. Benar-benar membuang uang!"
"Kalau begitu–" dengan sengaja Kattie menepuk keras-keras punggung Nam-Joon,"Berhati-hatilah saat menggunakan barang! Salahmu sendiri, iya 'kan?"
"Iya, iya, aku tahu!" Nam-Joon mengeluh kesakitan. Ia tidak tahu darimana istrinya bisa mendapat kekuatan sebesar itu untuk menyiksa dirinya.
"Kalau kau sudah tahu, sekarang cepat pergi mandi. Aku tidak tahan mencium bau busuk ini!" Kattie berpura-pura sesak napas. Sebelah tangannya mengibas udara disekitarnya, menjadikan Nam-Joon seolah-olah gelandangan yang belum menyentuh air selama berhari-hari. Mau tidak mau lelaki itu beranjak dari tempatnya dan berjalan gontai menuju kamar mandi.
Sepeninggal suaminya, Kattie menghampiri bagian muka apartemen mereka dan mendapati sepasang sepatu berukuran cukup besar teronggok di dekat rak. Diamatinya sepatu model boots itu dengan tatapan iba. Tiba-tiba saja ia jadi teringat percakapan lepas antara dirinya dan Nam-Joon semalam.
"Nam-Soon merengek, ia minta sepatu baru."
"Lagi? Bukannya bulan lalu kau sudah membelikannya? Sepatu apa itu? Ah, entahlah, aku lupa namanya, pokoknya yang berkerlip di bagian solnya, 'kan? Dulu itu, dan sekarang ini, apa kau yakin?"
"Dia sudah merengek sepanjang hari, telingaku jadi sakit mendengarnya."
"..."
"Kalau kau tidak bisa, ya–"
"Tidak apa, lagipula besok aku libur. Akan kuajak ia pergi."
"Sayang, tapi–"
Setelah itu Nam-Joon hanya tersenyum, meyakinkan Kattie bahwa ia bersungguh-sungguh. Begitulah Nam-Joon yang ia kenal, selalu menepati janji yang dibuat. Pria bertubuh jangkung itu juga selalu berusaha melakukan yang terbaik, sebab ia tidak ingin melihat orang yang dikasihinya kecewa. Kattie sampai heran, acap kali ia melihat Nam-Joon mengorbankan sesuatu demi mewujudkan kepentingan orang lain. Bahkan, perasaannya sendiri.
Darimana ia mendapat budi pekerti seluhur itu?