Heroine : Jin (Kim Seok-Jin)
Suasana perpustakaan sedang lengang. Kim Seok-Jin – dengan mata besarnya – menyapu pandang ke sekitar. Malam ini, selain dirinya dan seorang mahasiswa tingkat atas yang duduk pada meja yang sama, hanya ada segelintir mahasiswa yang tengah asik menggeluti tumpukan buku di hadapan masing-masing. Seok-Jin pun sama. Mengingat sebentar lagi ia harus mempresentasikan hasil paper yang ditugaskan oleh dosennya, maka ia berinisiatif untuk mencari referensi tambahan agar memperkaya isi materinya.
Setelah habis ia melahap buku kedua, Seok-Jin merasa matanya mulai letih. Kacamata hitam yang bertengger di ujung hidung bangirnya merosot, pertanda bahwa ia harus melepasnya. Seok-Jin menggosok kedua netranya yang gatal. Ia harus beristirahat.
Ia mengemasi buku-buku yang sekiranya akan dipinjam. Dengan langkah mantap, Seok-Jin beranjak dari kursinya dan menghampiri konter peminjaman yang terletak di seberang ruangan.
Begitu keluar dari perpustakaan, Seok-Jin mendengar suara erangan. Asalnya tidak jauh. Rupanya,"Ah, kalau dipikir-pikir aku belum makan malam," dan sebelum pulang, ia memutuskan untuk mampir ke kedai makanan kaki lima yang jaraknya hanya beberapa blok dari kampus.
"Tapi kami sedang penuh malam ini, apa kau mau membungkusnya?" tawar Bibi penjaga kedai. Seok-Jin melongo. Ia tidak bisa menahan lapar lebih lama dari ini. Maka, dengan tegas ia bilang,"Tidak apa-apa, Ahjumma, aku bisa bergabung dengan pengunjung lain."
"Kalau begitu, makanlah bersama Nona yang itu," saran Bibi Hwang. Seok-Jin mengikut ke arah Bibi Hwang menunjuk : seorang perempuan dengan rambut kuncir kuda asal-asalan dan berkacamata tebal pada kursi di dekat jendela. Sejenak, Seok-Jin menyeringai.
"Ahjumma, masa iya aku makan dengan gelandangan?"
"Hush, jangan sembarangan!" tegur Bibi Hwang saat menyerahkan nampan berisi makanan pesanan Seok-Jin,"Dia adalah pelangganku! Dan asal kau tahu saja, dia adalah anak baik-baik."
Masa bodoh, gumam Seok-Jin tanpa suara. Sekiranya benar apa yang dia pikirkan tentang perempuan itu, ia akan bersikap seramah mungkin dan cepat-cepat melahap makanannya sebelum timbul kekacauan besar.
Ia menarik kursi dengan kakinya dan meletakkan baki pada meja. Sialnya, ia sedikit tidak sabaran, sehingga baki itu menghantam keras permukaan meja dan menimbulkan suara yang cukup keras. Ya, cukup keras untuk mengagetkan "teman makannya". Gadis itu pun mendongak.
Woo-Ri sedang asik terpekur, merenungi nasibnya sembari mengaduk-aduk udon yang mulai mendingin di dalam mangkuk. Sedang asik-asiknya, sebuah suara yang bersumber dari benturan antara dua benda mengagetkannya. Woo-Ri pun terdongak. Lagi, ia terkejut, demi mendapati seorang pria tak dikenal berdiri di hadapannya sambil memasang sebuah cengir aneh.
Siapa pria ini? Mau apa dia?
"Maaf, itu salahku," jelasnya sembari tergagap-gagap,"Aku–"
"Ini mejaku," jawab Woo-Ri ketus. Ia pernah menonton di TV, cara ini cukup ampuh untuk mengusir penguntit atau pria mesum yang berani mengganggu wanita. Masalahnya, justru lelaki itu dengan santainya duduk di seberang Woo-Ri dan mengulum senyum,"Iya, aku tahu, tapi Bibi Hwang kehabisan meja, jadi ia menyuruhku untuk duduk disini. Apa kau keberatan?"
