(please leave a coment after you read. thanks;)
Bruk! Seseorang menubruk tubuh ku dengan sangat keras. Sangat keras sehingga cukup membuat jus mangga yang tadi nya terkemas rapi di dalam gelas bening ini tercecer di lantai koridor sekolah
"heh nggak punya mata?", hardik ku. Sial nya, lelaki itu hanya terus berjalan tanpa menyadari kesalahan nya menubruk badan ku "dasar cowo nggak sopan", kali ini ia menengok sesaat lalu kembali berjalan pergi. Sumpah serapah ku ucapkan berkali kali di dalam hati
Nama ku Anindita Putri Larasati. Sebut saja aku Anin. Duduk di kelas 11 IPA 3 di salah satu SMA Negeri Jakarta. Aku dikenal cerewet, murah senyum, banci kamera dan ya selayak nya remaja jaman sekarang. Remaja?maksut ku pra-dewasa. Di sekolah ku, tentu dong dari kelas 10 udah ada yang namanya naksir fever. Demam naksir gitu. Apalagi sama kakak kelas, cuci mata gitu kan istilah nya.
Beda sama gue yang dari SMP kisah cinta nya nggak semulus paha chibi dan nggak seindah temen-temen gue. Gue yang Cuma bisanya nelen ludah disaat liat temen-temen gue ke kantin bareng atau sekedar berduaan di kelas,sambil baca-baca novel yang selalu menemani dan menambah bobot tas ku. Itu sama sekali tak masalah
"Delvin lagi,Nin?", ujar Eliza yang masih terus asik menyesap jus mangga nya yang masih utuh. Tak memperdulikan aku yang baru saja kehilangan jus itu
"iya Za. Gue nggak tau deh kenapa itu orang sewot banget sama gue. Jelas-jelas gue nggak pernah bikin salah sama dia. Ngobrol aja nggak pernah. Dasar cowo tengil, nggak punya sopan santun", maki ku
"ih Anin, lo nggak capek apa? Hampir satu semester dia kaya gitu terus sama lo. tiap ketemu ada aja yang dia bikin buat narik perhatian lo. Istirahat ketemu terus,pulang sekolah apa lagi"
Mendengar ucapan Eliza aku berpikir, kembali membuka memori yang ada di otak ku. Slide demi slide kejadian bermunculan bak film layar lebar di kepala ku. Dari mulai aku nyaris di serempet oleh motor nya, dia yang bermain basket lalu sengaja atau tidak bola super duper keras itu mengenai kening ku, dan masih banyak lagi
"mmm iya sih. ah terus kenapa?", tanya ku sambil duduk di bangku cokelat taman belakang sekolah. Tempat favorit ku dan Eliza jika ingin bergosip sesuatu. Apapun itu
"jodoh kali", ujar nya cepat
"waks? Za, gue mending nggak punya jodoh deh daripada harus ditakdirkan berjodoh sama dia.o-gah", kata ku dengan mimik muka ilfeel setengah mati
Delvin memang setengah famous atau bahkan mungkin memang famous. Seantero sekolah kami,90% mengenal nya. Bukan karena dia siswa berprestasi yang mendapat beasiswa atau bahkan memenangkan medali emas dalam olimpiade IPA. Bukan. Sebalik nya, karena kebringasan dan ketengilan nya ia dikenal. Suka membuat onar,berkali-kali keluar masuk ruang konsuling sekolah. Berkali-kali ia dihukum, tak juga ia merasa jera. Aku saja yang hanya mendengar nya melalui desas desus mulut anak-anak sekolah hanya bisa menggelengkan kepala
"jangan gitu Nin, omongan kan doa tau", Za memperingatkan
"iya itu doa gue. Nggak jodoh sama Delvin"
Bel masuk berbunyi ketika aku baru saja meluncurkan doa ku secara tidak langsung. Kembali menaiki tangga karena kelas kami berada di lantai paling atas. Lantai 3
"coba kalian identifikasi mengenai novel dari materi minggu lalu", suara Bu Uun menyeringai. Membangkit kan rasa kantuk yang mendalam karena hari sudah menjelang siang, matahari tepat berada di atas pertengahan bumi. Semilir angin yang masuk dan membuat tirai di kelas menari-nari, menarik perhatian para siswa yang ada di dalam nya untuk terlelap. Sungguh godaan yang sangat menggiurkan.
Jika kebanyakan anak memilih mengerjakan tugas nya di luar dekat balkon kelas, aku dan Eliza lebih memilih di perpustakaan. Sangat tenang dan tentram.
Aku sudah sampai di depan pintu raksasa bercorak angsa putih yang terbuat dari keramik transparan. Ya, ini lah perpustakaan di sekolah ku. Ruangan yang di tata sedemikian rupa hingga tampak rapi dan apik. Ditambah lagi dengan suasana di dalam nya. Sunyi...tenang. Segera kudorong engsel pintu tersebut. Cukup berat untuk tubuh ku yang hanya berbobot 55kg ini. Di siang hari seperti ini,perpustakaan tampak lengang. Dengan puluhan rak di segala penjuru ruangan, jutaan buku, beberapa pasang meja dan kursi tersusun rapi di tengah-tengan perpustakaan membuat tempat ini semakin terlihat luas dan megah.
Hanya ada seorang wanita paruh baya yang setia disini. Bu Annalise, akrab disapa Bu Anne. Pembawaannya yang ramah dan dandanan yang rapi,rambut yang di cepol setiap hari,berpakaian layak nya pegawai kantoran kelas atas, membuat nya di segani banyak orang.
Setiap hari ia selalu menghabiskan waktu nya di balik layar monitor komputer. Menginput data-data buku. Walaupun secara fisik matanya terfokus pada komputer,tetapi pandangan ekor matanya menyapu segala penjuru bagian perpustakaan. Ia paling sengit jika ada siswa yang membuat gaduh atau membuang sampah sembarangan. Beliau juga yang bertanggung jawab dengan segala buku yang ada disini. Jika sedang kenaikan semester, ia bisa bekerja hingga larut malam karena penuh nya proses penukaran buku-buku baru. Rasa lelah kadang tak bisa dipungkiri dari wajah nya yang semakin menua itu.
"siang bu Anne", kata ku menyapa
Ia sedikit mendongan lalu hanya membalas nya dengan seulas senyum. Setelah itu aku dan Za memilih bangku di sela-sela lorong rak-rak buku. Senang rasa nya jika duduk dikelilingi oleh buku,terutama novel.
"Za, gue mau cari novel-novel lagi nih. Ya refrensi gitu"
"iya-iya", kata Za yang sibuk dengan pulpen dan mulai menggoreskan beberapa kata di buku tugas.
Aku bangkit lalu mencoba mencari-cari buku yang ku maksut. Menyusuri satu rak ke satu rak lainnya. Mencari melalui bantuan kode yang tersemat dibagian bawah rak. Kode-kode ini lah yang memisahkan beberapa genre buku yang ada di perpustakaan. Saat aku tengah memilah buku yang akan ku ambil, terdengar suara yang cukup keras.
"buuuuukk!", suara itu begitu keras sehingga membuat ku terlonjak kaget dan menjatuhkan buku yang sedang ku genggam
Aku segera mencari sumber suara. Setelah celingak-celinguk kesana-sini aku melihat seorang lelaki jatuh tertimpa beberapa buku biologi yang tebalnya lumayan membuat kepala sakit. Setelah menemukan sumber suara itu, aku tertegun. Delvin. Anak se tengil dia ada di perpustakaan? Ajaib.
"eh nggak apa-apa kan?", aku mencoba membantu nya bangun dan memunguti buku-buku yang jatuh berserakan. Mencoba bersikap manis dengan orang yang belum pernah kukenal sebelum nya secara langsung itu lebih baik. Ya walaupun, sumpah serapah ku sering terucap untuk nya
"eh iya nggak apa-apa kok. Makasih,hehe", ia meringis kesakitan sambil memegang kening nya yang sedikit lecet. Mungkin terkena ujung buku atau pinggiran kertas yang memang tajam. Sedikit heran, meskipun secara penampilan ia sangat total terlihat buruk, suara nya sangat lembut. Meneduhkan jiwa,begitu pula sorotan mata nya. Tak sengaja, mata kami bertemu.......
Sepersekian detik kami sama-sama terdiam. Sunyi memeluk waktu. Dan...hei!!
"oh eh maaf", aku berdiri dan mencoba merapikan rok sekolah ku yang panjang nya selutut itu. Bersamaan, ia juga berdiri dan merapikan kemeja nya yang sedikit berantakan. Aku mengembalikan buku-buku yang tadi menimpa dirinya ke rak semula
"ngga usah repot-repot. Makasih ya", ia mencoba meminta buku itu dari tangan ku namun aku sudah terlanjur menggerakan tangan ku untuk menaruh nya kembali di rak
"udah nggak apa-apa. Santai aja kali",jawab ku ringan. Tapi entah mengapa aku merasa detak jantung ku berpacu sangat cepat. Pipi ku bersemu merah. Aku sama sekali tidak mengenal pemuda blasteran ini. Baru saja aku mengenal nya beberapa menit lalu.
Setelah aku memastikan buku itu sudah kembali ke tempat nya semula, aku beranjak pergi ke meja dan membereskan bawaan ku lalu bergegas. Meninggalkan dia.
Setengah berlari menginggalkan dia. Bersama dengan debar jantung yang berpacu kian cepat. Seorang Delvin? Entahlah aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda.....
