SABTU pagi, seperti biasanya. Waktu-waktu yang sangat tidak disukainya. Dari mulai pukul delapan pagi sampai dua belas siang. Shift kerjanya di kafe yang menerimanya untuk magang, di hari Sabtu ini memang hanya empat jam. Tapi justru karena itu ia membencinya.
Akan sangat jarang untuk berinteraksi, kau tahu? Hanya sedikit orang yang senang atau mood untuk pergi ke sebuah kafe pagi-pagi sekalipun hanya untuk memesan secangkir teh.
Tapi ia tidak punya pilihan lain. Bekerja di sebuah kafe, tepatnya magang, adalah salah satu pekerjaan yang lumayan santai yang bisa ia dapatkan. Terlebih tempat kerjanya tepat ada di depan flat nya sehingga tidak perlu repot-repot menggunakan transportasi. Berjalan kaki saja tidak akan membuatnya lelah. Apalagi ia hanya perlu turun sebanyak lima lantai menggunakan lift dan menyebrangi jalan.
Ia memilih untuk magang di kafe karena pertama, jadwal shift nya di kafe itu hanya dua kali seminggu atau sekitar sebelas jam. Dan yang kedua adalah pekerjaan tetapnya sekarang adalah editor yang sedang menunggu apa yang harus ia edit dalam majalah. Lagipula sebelas jam dalam seminggu tidak akan mengganggu pekerjaannya, bukan?
Fasya Anadila, 23 tahun. Ia menyelesaikan kuliah sastra Indonesianya pada umur yang masih dapat dikatakan belia. Orang-orang sudah memandangnya aneh karena Fasya hanya menjadi seorang editor yang sekaligus magang di sebuah kafe kecil. Dan sekarang Fasya sedang sekolah di salah satu universitas di London yang terkenal dengan seni nya. Bukankah seharusnya Fasya bisa mendapatkan pekerjaan yang sedikit lebih mengesankan? Namun Fasya hanya ingin agak bersantai sekarang ini, dan memikirkan pekerjaan yang lebih serius nanti.
Dan tentu saja pertanyaan itu tidak datang sekali dua kali. Teman-temannya yang beberapa masih mengejar waktu wisuda pun heran. Tak sedikit tawaran pekerjaan yang lebih 'dipandang' dibandingkan editor jatuh kepada Fasya. Ditambah lagi bukan hanya dibutuhkan dalam bidang bahasa dan seni, Fasya juga ditawarkan pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut kepada urusan menghitung. Fasya yang dikenal pandai karena sejak SMP mengikuti jenjang akselerasi, kenapa harus mendalami sastra dan seni musik?
Orang-orang selalu meminta dan memaksanya agar masuk ke jurusan yang menyangkut IPA atau Matematika, tetapi yang ia pikirkan adalah untuk apa belajar sesuatu yang rumit untuk sesuatu yang tidak dibutuhkannya saat kerja nanti.
Sekalipun tidak sepenuhnya benar karena Fasya sampai saat ini masih membenci orang-orang yang malas belajar. Dan juga gagasan itu tidak sepenuhnya betul karena ada beberapa artikel dalam majalah yang dikerjakannya dengan kata-kata yang berbau ilmiah. Disaat itu juga Fasya bersyukur akan pembelajarannya sewaktu dulu.
Kini ia tengah duduk di kursi yang biasa ia duduki sampai suara pintu yang dibuka terdengar dan salah seorang rekan kerjanya menyenggol bahu Fasya. Dan Fasya mengerti apa maksudnya karena Fasya lebih senang menjadi pekerja kafe yang tugasnya hanya menawarkan dan mencatat pesanan dibanding dengan membereskan meja, karena satu yang ia takuti, apa jadinya kalau piring-piring itu pecah? Dia benci bertanggung jawab akan hal itu, tetapi bukan berarti dia tidak akan bertanggung jawab. Sebaiknya menghindari kemungkinan terburuk.
Fasya berjalan sambil membawa sebuah buku menu dan kertas untuk mencatat pesanan. Dilihatnya pelanggan pertama mereka hari itu, seorang pria, masih muda, memilih untuk duduk di salah satu spot yang terletak di pojokan. Membuat Fasya bingung lagi kenapa orang-orang sangat memperebutkan spot itu? Apa spesial nya?
"Selamat pagi, mau pesan apa?"Bicara formal seperti biasanya. Gaya bicara itu sudah sering dilakukannya selepas kuliah, saat memasuki dunia kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorrow
Teen FictionSemuanya berawal dari coba-coba, sesederhana itu. Untuk menyukainya, Fasya Anadila memulainya dari coba-coba. Tapi dengan begitu, Fasya malah terjatuh sendiri untuk seorang laki-laki yang kini sangat dipujanya.