0.2

8K 679 22
                                    


Huh, malas sekali rasanya. Tadi, pak Agus baru saja mengatakan bahwa minggu depan adalah pengambilan nilai olahraga basket. Aku harus bisa mencetak point dalam waktu yang ditentukan. Bagaimana bisa? Olahraga pun hanya ku lakukan jika ada pelajarannya. Dan bola basket pun baru ku pegang jika disuruh. Aku tak menyukai olahraga.

Aku harus berjuang keras. Seperti sekarang ini. Sudah jam pulang sekolah, tapi aku masih harus bertahan di sekolah hanya demi berlatih ngeshoot supaya nilai ku nanti ga jelek-jelek banget. Sekolah udah sepi. Riri juga udah pulang duluan. Ada les katanya. Bete banget.

Aku mulai mendrible bola basket ditangan ku. Awalnya hanya tembakan-tembakan kecil. Ada yang masuk, ada yang engga, ada yang ga nyampe ring, ada yang membentur papan ring kenceng banget, ada juga yang muter-muter di pinggiran ring dan akhirnya malah ga masuk. Itu baru under ring. Sedangkan nanti saat pengambilan nilai, aku juga harus bisa lay up.

Aku mulai mengambil ancang-ancang. Membuat jarak cukup jauh supaya bisa melangkah.

Satu. Dua. Lempar. Percobaan pertama jauh dari ekspetasi.

Coba lagi.

Satu. Dua. Lompat. Lempar. Sama aja kayak yang pertama.

Lagi.

Satu. Dua. Lompat. Lempar. Lumayan lah.

Lagi.

Satu. Dua. Lompat. Lem--

Bughhhhh...

Aku merasakan sesuatu yang kuat menghantam bahu ku keras. Hingga rasanya tubuhku melayang sebentar. Dan dalam hitungan detik, aku terjembab membentur aspal lapangan. Aku dapat merasakan pergelangan kaki ku terbentur keras. Pasti engkel. Tak sampai sepersekian detik, aku dapat merasakan semua rasa sakitnya.

Siku ku berdarah. Bahu ku nyut-nyut-an. Lutut ku tergores. Dan dapat dipastikan pergelangan kaki ku engkel. Sakit semuanya dalam satu waktu. Hingga mata ku terpejam menikmati sakitnya. Bahkan, aku tak mampu mengubah posisi ku yang mengenaskan.

"Astagfirullah."

"Parah lo Ar! Anjir anak orang tuh!"

Dalam pejaman mataku, aku bisa mendengar suara berisik disana. Tapi aku tak peduli. Rasa sakit menarikku untuk terus terpejam. Bahkan aku bisa merasakan buku mataku sudah basah. Dan sesuatu yang hangat mengalir di pipi.

"Gua ga tau bakal kayak gini. Gua cuma mau iseng ngambil bolanya."

"Ya cepet tolongin goblok."

Sebuah tangan menyentuh bahu ku. Membuat aku meringis menahan sakit.

Tangan itu membantu ku untuk duduk dengan benar.

"Aduh. Maaf ya. Gua ga nyangka bakal kayak gini. Awalnya cuma iseng." Suara itu terdengar khawatir dan panik.

Aku tak tau siapa dia. Mataku masih terpejam rapat. Perlahan, aku membuka mataku. Mengerjapkannya beberapa kali. Dan beberapa orang yang sedang mengerubungi ku masuk ke dalam fokus ku.

"Kak Ardan.." ucap ku menyedihkan. Dan dalam sekejap aku kembali menangis. Ga nyangka yang ada di depan ku kak Ardan.

"Dek, maap ya. Mana yang sakit." Tanya nya.

"Banyak." Jawab ku sambil menangis.

Dia mengusap wajahnya kasar.

"Beni, kantin gih sono. Beliin minum. Terus ke uks, ambil plester luka sama betadine." Ucap kak Ardan tegas.

"Iya kak." Orang yang dipanggil Beni itu langsung bergegas.

Sambil menangis, aku memperhatikan wajah-wajah di hadapan ku. Ada kak Ardan. Kak Dani, kak Adam, kak Levi, dan masih banyak lagi. Mereka anak basis.

"Sakit banget ya dek?" Kali ini kak Dani yang bertanya kepada ku.

Aku hanya menjawab dengan menganggukan kepala.

Aku bisa merasakan kaki ku ditarik perlahan untuk diluruskan.

"Maap ya dek gua pegang-pegang gini. Gua urut bentar deh." Ucap kak Ardan.

Aku hanya diam.

"Udah, kelas 10 balik aje sono. Dah sore. Nih anak biar jadi tanggung jawab gue, Ardan, Levi, ama Adam." Ucap kak Dani kepada anak basis kelas 10.

"Oke kak. Kita duluan." Mereka pun bubar. Menyisakan ke empat kakak kelas basis dan aku. Jujur, sebenarnya aku sedikit takut.

"Akkkkkhhhhhhhh." Aku menjerit keras saat tangan kak Ardan memijit pelan pergelangan kaki ku dan menekuknya kesana kemari.

Empat pasang mata menatap ku kaget. Pasalnya teriakan ku benar-benar kencang.

"Aduuh, maap. Sakit banget ya. Tahan dikit ya. Kalo engga gini, ntar bengkak." Kata kak Ardan pelan. Sedangkan aku pun hanya bisa menangis dan menggigit bibir menahan sakit.

"Aduh Ar, pelanan dikit. Ga tega gua liatnya." Kali ini kak Levi yang menguarkan suara.

"Ini juga udah pelan Vi." Balas kak Ardan.

"Awwwwww sakiiiittttttttt." Aku kembali teriak saat kaki ku ditekuk ke depan oleh kak Ardan.

"Aduh dek, lu tenang dulu ya. Kalo elu nya nangis gitu, ntar malah tambah sakit. Gua juga tambah panik jadinya." Balas kak Ardan sedikit frustasi.

"Ga bisa kak. Sakit banget." Jawab ku sambil sesunggukan.

"Kak, ini minum, plester, ama betadinenya." Ternyata Beni sudah kembali.

"Makasih. Udah sono balik lu. Yang laen juga udah pada balik." Suruh kak Ardan yang langsung dituruti oleh Beni.

"Nih, lo minum dulu." Kak Ardan menyerahlan minum kepada ku. Selagi aku minum, ia memberikan betadine dan memplester luka ku.

"Lu pada balik duluan deh. Gua nganter nih anak pulang dulu. Ga bakal bisa balik sendiri nih bocah."

Samar-samar aku mendengar obrolan mereka.

"Yakin lu sendiri gapapa?"

"Yakin lah."

"Yaudah. Gua tungguin ampe lu keluar parkiran dah."

"Sip."

"Dek, ayo bangun dulu. Biar gua anter lu balik." Ucap kak Ardan.

Aku mencoba bangun, tapi kaki ku terasa gemetar dan tak mampu untuk menopang tubuh ini. Hingga aku jatuh kembali.

Aku kembali menangis sambil meringis.

"Ga bisa bangun kak." Ucap ku sambil sesunggukan. Sedangkan ke empat kakak kelas ku malah tertawa.

"Sini naek."

Kak Ardan sudah berjongkok di hadapan ku. Sementara aku hanya diam menatap punggungnya.

"Ayo cepet. Kaki lo pasti masih sakit. Udah mau sore."

Dengan bantuan kak Adam dan kak Dani, aku pun sudah berada di gendongan kak Ardan. Tangan ku melingkar di lehernya. Sedangkan tangannya menahan pahaku agar tidak merosot.

Aku tak percaya. Aku digendong kak Ardan.

...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang