4

22 2 0
                                    

“Dea, aku nggak tahu apa yang akan terjadi di kehidupan kita setelah ini. Aku juga nggak tahu apa kita masih bisa bertemu atau enggak. Tapi aku yakin kita pasti bisa bertemu lagi, entah kapan dan dimana aku nggak tahu. Tapi yang jelas aku sayang banget sama kamu, dan kalau aku bisa menghentikan waktu aku pasti akan menghentikan waktu itu, supaya aku tetap berada disisi kamu. Tapi itu mustahil dan aku harus pergi.” Ucapku pada Dea.

“Rendy.” Ucap Dea dan memberiku sebuah pelukan. “ Aku nggak akan pernah melepas pelukan ini, kalau memang dengan aku memeluk kamu, kamu akan tetap ada disini. Tapi itu mustahil.” Kata Dea lalu melepas pelukannya.

“Oh iya, Dea aku punya sesuatu untuk kamu!” kataku pada Dea lalu memberikan sebuah kotak hati berwarna pink.

“Aku juga punya sesuatu untuk kamu. Sorry cuma itu yang bisa aku kasih itu pun aku buat semalam!” kata Dea lalu memberiku sebuah kotak kecil berwarna Biru.

“Apa ini?” tanyaku pada Dea.

“Buka dong kalau kamu mau tahu isinya!” jawab Dea.

“Kamu juga dibuka dong!” pintaku pada Dea.

“Dibuka bareng ya!” kata Dea. “Satu… Dua… Tiga…” sambung Dea.

“HAH??? Kok sama?” ucap kami bersamaan.

“Kebetulan banget ya, kita sama-sama ngasih saputangan putih.” Kata Dea disertai senyum manisnya.

“Kalau menurutku ini adalah sebuat pertanda kalau memang kita ditakdirkan untuk bersama.” Jawabku membalas senyumannya.

“Rendy, ayo sebentar lagi kita berangkat!” kata Mama memanggilku.

“Sudah dulu ya, Mama sudah memanggil. Makasih sudah mau mengantar sampai bandara. Daah.” Kataku, lalu menghampiri Mama dan pergi menuju pesawat.

Kesokan harinya.

“DEA… DEA.. lihat deh berita ini!” teriak Pras lalu memberikanku surat kabar yang dibawanya.

“Heh.. PRASETYA HADI PRATAMA, nggak usah teriak-teriak bisa kan?” kataku pada Pras dan mengambil surat kabar yang dibawanya. Aku pun membaca berita di surat kabar tersebut, dan mendapatkan berita yang berisi tentang “KECELAKAAN PESAWAT TUJUAN JAKARTA-TOKYO.”

“Astaga, pesawat Rendy kecelakaan. Berarti Rendy sudah ……” kata Dea dan hanya bisa menangis, Pras pun hanya bisa menenangkannya.

Sementara itu di Tokyo.

“Pa, lihat berita di televisi! Pesawat dari Jakarta mengalami kecelakaan!” kata Mama.

“Makanya kita harus banyak bersyukur, karena itu bukan pesawat kita!” kata Papa.

“Ma, Pa, ada yang lihat handphone Rendy nggak? Dari tadi Rendy cari, tapi nggak ada?” tanyaku pada orang tuaku.

“Jangan-jangan tertinggal didalam taksi yang tadi.” Kata Mama.

“Bisa jadi sih, Ma.” Ucapku pada Mama.

“Lagian kamu teledor sekali sih, ya sudah besok Papa belikan gantinya!” ucap Papa.

                Karena aku kehilangan handphone, membuatku tidak bisa menghubungi teman-temanku di Jakarta. Selama aku di jepang, aku benar-benar sudah tidak menjalin komunikasi lagi dengan mereka. Mulai dari telpon, sms, bahkan e-mail pun tidak pernah kugunakan untuk menghubungi mereka.

                Sekarang aku sudah menjadi mahasiswa di Tokyo Daigaku, yaitu salah satu universitas terbaik di Jepang. Biasanya dikenal dengan nama TODAI atau Harvard-nya Jepang. Sebenarnya aku masih ingin kuliah di TODAI, tapi pekerjaan Papa di jepang sudah selesai karena sudah tiga tahun. Sehingga aku harus kembali ke Jakarta.

                Sebenarnya aku sudah terlanjur mencintai negeri ini, impianku adalah bisa membawa Dea ke Jepang dan menyatakan perasaanku padanya tepat di musim semi di bawah pohon sakura. Tapi aku sudah harus kembali ke Tanah Air. Sungguh berat memang untuk meninggalkan tempat ini. Ya mungkin, Tokyo Tower memang harus berganti dengan Monas, Tokyo Dome harus berganti dengan Gelora Bung Karno, Tokyo Disneyland harus berganti dengan Dufan, dan Tokyo Daigaku harus berganti dengan Universitas Indonesia, tapi Deandra Emilia Azhyata tidak akan bisa digantikan oleh siapapun, karena hanya dia yang boleh memiliki hati ini. Tapi aku senang bisa kembali ke Tanah Air, karena dengan begitu aku bisa bertemu dengan Dea. Ya Dea cewek jutek yang selalu mengisi hari-hariku.

Saputangan PutihWhere stories live. Discover now