Dia Azka

98 11 2
                                    

(Aurora POV)

Di sinilah aku, di halte depan sekolah, sendirian, memandangi hujan yang tak henti-hentinya membasahi bumi. Sebenarnya juga tidak sendirian karena ada seorang anak kecil berwajah murung yang membawa setangkai bunga tulip berwarna hitam di sebelahku yang hanya bisa dilihat olehku dan orang indigo lainnya.

Di sanalah dia, sedang berorganisasi bersama teman-teman satu ekskulnya di bawah rindangnya pohon cemara yang menjulang tinggi. Yang mungkin sudah masuk ke ruangan karena sekarang hujan.

Aku tersenyum memandangi fotonya yang sedang tersenyum. Tadi, sebelum hujan, aku duduk di bangku taman dan mengeluarkan kameraku. Foto yang aku zoom beberapa kali ini seperti sudah menjadi canduku. Senyumnya manis, tapi kelewat manis seperti gula bibit yang biasa digunakan untuk membuat kembang gula-gula kapas yang suka aku beli di pasar malam.

Aku sudah kelas 10 semester dua, tapi aku baru tahu kalau ada murid cowok yang namanya Azka di sekolahku. Ya, dialah yang aku kagumi senyumnya.

Dia terlihat sangat ramah terhadap siapapun, terkecuali aku. Sudah tiga kali kami berpapasan, tapi dia tidak melihatku. Baru tiga kali tapi cukup membuatku merasakan apa itu jatuh cinta.

Aku memang mudah jatuh pada hati seseorang melalui senyumnya. Padahal aku tidak tahu apakah orang itu baik atau tidak. Tidak, aku tidak murahan. Aku tidak pernah berpacaran, dari dulu aku hanya mengagumi senyuman seseorang dan mencintai. Mungkin sudah menjadi hobi yang entah kapan hobi ini bisa berhenti.

Dulu saat aku masih SMP, aku sempat menyukai kakak kelas bernama Rifki. Dia orang yang baik, pintar, aktif, dan tampan, tentunya. Tapi ada satu sifat yang aku tidak suka darinya adalah dingin, sedingin es di kutub utara. Hingga akhirnya dia mempunyai pacar bernama Kak Zahra.

Aku juga pernah menyukai teman sekelasku sendiri, tapi sekarang malah jadi sahabatku. Namanya Kadiman. Eits, jangan salah, waktu bayi dia diberi nama Dave, tapi malah sakit-sakitan. So, digantilah nama itu menjadi Kadiman. Dengan nama seperti itu dia menjadi orang yang sehat, pintar, tampan, dan juga murah senyum. Dia sekarang satu SMA denganku, tapi berbeda kelas dan jurusan, aku IPA dan dia IPS. Dia mengambil ekskul futsal yang katanya baru-baru ini memenangkan sebuah pertandingan.

Dan aku pernah menyukai cowok-cowok dengan senyum manis lainnya yang semuanya pernah terabadikan fotonya di kameraku ini. Tapi foto-foto mereka sudah aku hapus semuanya. Tersisa fotoku, foto keluargaku, dan satu foto cowok idamanku kini.

Bukan, aku bukannya ingin mereka menjadi milikku, mereka senyum padaku saja aku sudah senang. Artinya mereka menyadari kehadiranku.

Jujur, aku tidak punya teman. Padahal aku sudah sok-kenal-sok-deket dengan teman-temanku di SMA. Namun mereka tidak memberi lampu hijau kepadaku untuk bergabung dengan mereka. Alhasil, temanku sekarang hanyalah Kadi seorang.

Cowok yang ku kagumi itu namanya Azka. Ya, dia Azka Zainudin. Mendengar nama itu, pipiku memanas, telingaku meremang, senyumku tidak bisa disembunyikan, perutku dipenuhi kupu-kupu yang seperti ingin membawaku ke angkasa bebas dan menari-nari di sana.

Sekarang sudah sore, ku masukkan kameraku ke tas kamera yang ku tenteng. Angkutan pedesaan sudah terlihat di ujung jalan. Saat angkutan itu berhenti tepat di depanku, aku langsung masuk ke dalamnya.

Rumahku ada di desa, jauh dari suasana perkotaan yang sibuk dan bising setiap harinya. Mamaku bekerja di sebuah pabrik kosmetik. Papaku? Em.. Kalau kata Mama, sih, Papa sudah meninggal saat Mama sedang mengandungku. Sedih, ya, sudah yatim sejak lahir? Tapi ngomong-ngomong, aku tidak pernah melihat hantu Papa. Karena biasanya aku melihat hantu-hantu orang yang sudah berpindah alam, tapi pengecualian untuk Papa.

Mama sudah menungguku di depan meja makan dengan tatapan sendu.

"Kenapa, Ma?" tanyaku sambil menghampiri Mama dan meletakkan tas sekolahku di kursi.

Mama menengok ke arahku. "Gak pa-pa. Cuma kurang tidur," Mama menunjukkan senyum teduhnya.

"Beneran, nih, Ma?" tatapanku berubah serius.

Mama hanya mengangguk.

"Aku ke kamar, ya, Ma," kataku sambil bangkit dari dudukku dan menenteng tas sekolah.

"Iya, habis itu makan, ya. Mama tunggu di sini," ujar Mama yang ku balas dengan anggukan.

☆☆☆

(Azka POV)

Ekskul mading sedang sibuk minggu-minggu ini. Kami rencananya akan mengadakan lomba kepenulisan artikel di mading sekolah.

Apalagi aku ini menjabat sebagai sekretaris yang harus membuat ini itu, termasuk pengumuman lomba dengan desain semenarik mungkin.

Aku duduk di bangku SMA kelas X-IPS 1 yang kebetulan sohibku juga dapat kelas yang sama denganku, dia Fajri. Cowok tampan yang playboy tapi disegani banyak cewek karena kesopanannya. Eh, sopan-sopan gini juga pernah membentak guru, turunlah sementara reputasinya sebagai seorang most popular male. Tapi tak lama setelah kejadian itu, cewek-cewek genit itu lagi-lagi mengejarnya tanpa henti. Resiko orang ganteng bisa gitu, ya?

Aku tidak iri sama sekali dengan Fajri. Malah aku bangga mempertahankan gelar 'Jomblo' di belakang namaku. Hehe, kalau ada Universitas jurusan jomblo, kan, namaku bisa ditambah gelar S.Jb (Sarjana Jomblo) di sana. Tapi sayangnya nggak ada, ya?

Selama ini banyak, sih, cewek yang ngejar. Tapi mereka sama sekali tidak membuatku tertarik. Karena tidak ada yang menarik, tidak ada yang beda, semuanya sama, hanya melihat dari fisikku saja.

Tapi saat aku sedang kumpul-kumpul dengan anggota ekskulku di bawah pohon cemara, sepertinya ada yang memotretku. Seorang cewek dengan rambut panjang bergelombang yang dikucir kuda dan seragam sekolahnya sopan, tidak sengaja dibuat kekecilan seperti kebanyakan cewek lainnya di sekolah ini.

Setelah memotretku, dia tersenyum dan langsung saja beranjak dari tempatnya. Cewek aneh.

Eh, atau mungkin aku yang ke-GR-an, ya? Bisa saja dia memotret pohon cemara yang sudah bertahun-tahun tumbuh itu, pemandangan di sana memang indah. Ah! Iya, pasti dia memotret pohon itu, tidak salah lagi.

Just One Dream(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang