Semu Merah di Pipimu

50 10 0
                                    

(Azka POV)

Akhirnya selesai juga brosur lomba yang ku buat, sudah dicetak dan diperbanyak. Simpel namun eyecatching, cukup bisa menarik perhatian, inilah sisi bangganya jadi sekretaris. Sebenarnya ini bukan bagianku. Tentu saja untuk brosur, spanduk, name tag, dan lainnya yang berhubungan dengan desain merupakan bagian divisi publikasi, dokumentasi, dan desain. Namun nyatanya? Mereka tidak bisa membuatnya. Sangat mengecewakan.

Aku berjalan dengan Zulfikar—teman satu ekskulku—lewat lapangan sekolah yang ramai untuk menuju ke mading utama, mading itu berada di depan lobi.

"Rame banget, sih? Ada acara apa emang?" tanya Zulfikar yang pandangannya sedang menyapu siswa-siswi yang ada di lapangan.

"Gak tau," aku mengangkat bahuku sekilas dan tetap berjalan menuju lobi.

Ternyata keramaian ini disebabkan oleh si ketua OSIS yang berlagak, lagi. Terlihat dia tersungkur di atas rumput samping lapangan dan beberapa anak kelas sebelas lainnya dengan muka yang menahan geram, sepertinya baru saja berkelahi. Aneh, kan? Klise, kakeknya pemilik sekolah ini. Jadi, dia dipaksa untuk menjadi ketos. Oh, ayolah. Kapan keadilan benar-benar ditegakkan walau hanya dalam lingkup sekolah?

"Zul," panggilku pada Zulfikar yang malah menonton perkelahian itu.

Dia berbalik badan, menyadari dirinya dipanggil. "Apa?"

"Pegangin lemnya," aku serahkan lem kertas padanya dan dia menerima.

Aku mulai mengoles lem itu pada brosur dan menempelkan brosurnya pada mading. Beberapa murid yang tadinya menonton adegan tinju-meninju itu berbalik haluan menuju aku. Ehm, maksudku menuju mading, untuk melihat ada pengumuman baru tentang apa lagi.

☆☆☆

(Aurora POV)

Kadi menghampiriku di kelas. Hmm, ada gelagat mencurigakan, nih.

"Ra! Aurora!" serunya dari ambang pintu.

Aku menghampiri Kadi yang jalan di tempat seperti sedang menahan buang air kecil.

"Apa?"

"Fotoin aku, dong. Mau nembak si Kyla, nih, sekarang. Biar so sweet gitu, kan. Tapi gugup banget ini gimana!!" cerocos Kadi yang masih terlihat gelisah setengah mati.

Aku mengangguk sambil tersenyum penuh arti. "Ciyee.. Akhirnya udah mau gak jomblo lagi. Bentar, ya, aku ambil dulu kameranya."

Kakiku membawa seorang Aurora menuju tempat duduk lagi. Aku mengambil kameraku dan kembali melangkah menuju pintu kelas.

"Yuk," aku mengangguk.

"Yuk," ucapnya sambil melenggang pergi. Yah, aku ditinggal lagi, kan. Kadi... Kadi, mentang-mentang sudah mau punya pacar, aku diabaikan!

Langkah kakiku terhenti di depan taman belakang sekolah. Di sana, di tempat duduk yang ada di taman itu, dua anak manusia sudah duduk berhadapan. Kadi dan Kyla. Kadi mengangguk ke arahku dan mulai menggenggam tangan Kyla. Aduh, ya, ampun! Sinetron banget, sih, Di! Nggak nyangka si Kadi bisa manis juga.

Aku mengambil gambar mereka beberapa kali sampai mereka bangkit dari duduknya dan berjalan beriringan berdua. Ohh, diterima ternyata. Kan? Aku ditinggal lagi, kan? Awas aja kamu, Di! Dasar, tidak berperi ke-Aurora-an!

Ku putuskan untuk pergi ke kantin tanpa menaruh kameraku. Lapar juga ternyata setelah belajar kimia, menguras otak dan tenaga, walau begitu aku sangat suka pelajaran tersebut. Tapi aku mengurungkan niatku menuju kantin karena melihat mading yang dikerumuni banyak murid. Aku tertarik dengan itu dan berniat mampir dulu ke mading.

Pengumuman lomba kepenulisan artikel mading ternyata. Per-kelas? Ah, ya sudahlah. Aku tidak akan terlibat dalam hal ini. Coba saja kalau lomba ini per-orang, pasti aku... Ya, nggak ikut juga, sih. Nggak minat. Dan lebih tepatnya nggak bisa.

Oh! Dia lagi! Ada Azka di sana, sedang melipat tangannya di depan dada bersama temannya yang ku ketahui dia bernama Zul. Azka senyum kepadaku! Ehm, tapi... Kok...

Aku menengok ke belakang barangkali dia salah lempar senyum. Dan benar saja, aku melihat seorang cewek yang sedang tersenyum sambil melambaikan tangannya kecil.

Huh... Kalau saja benar aku yang diberi senyum itu mungkin akan mati berdiri saking senangnya.

Ku arahkan kameraku pada Azka karena dia masih setia tersenyum.

Cplat!

Aduh! Aurora! Bodoh banget, sih!? Kenapa lampu flash-nya belum dimatikan? Mati kutu, kan, kalau gini! Gimana ini, Mama!

☆☆☆

(Azka POV)

Banyak juga ternyata kelas yang beminat mengikuti lomba ini, hampir semuanya, dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas.

Aku tersenyum puas dari samping mading bersama Zulfikar. Tersenyum karena sudah berfikir kemana-mana kalau acara ini pasti akan sukses! Haha, aku puas!

Eh, ada cewek itu lagi. Dia datang membawa kamera di genggamannya dengan ekspresi datar. Saat melihat pengumuman itu pun mukanya masih datar, benar-benar aneh. Aku jadi penasaran.

"Senyum mulu, sih, lo? Liat Rida?" tanya Zulfikar yang sukses membuat senyumku luntur seketika.

Aku mendelik ke arahnya. "Rida lagi, Rida lagi. Sumpah, aku gak ada apa-apa sama dia. Dianya aja yang genit. Buat kamu aja, Zul, gak pa-pa," ujarku dengan muka bete setengah mati yang dibalas kekehan dari bibir Zulfikar.

Ku alihkan pandanganku pada kerumunan murid itu lagi. Dan lagi-lagi aku tersenyum merasakan getaran di saku celanaku akibat notifikasi Line dari perwakilan murid yang ingin ikut lomba.

Loh? Cewek yang tadi kemana? Ditelan bumi?

Cplat!

Ow... Ternyata dia di sana. Eh? Tadi itu dia memfotoku?

Mukanya langsung memerah dan langsung saja berbalik badan. Merutuki diri sendiri sepertinya. Dia berjalan dengan tergesa-gesa dan sesekali melirikku dari ekor matanya.

Wah, ada yang tidak beres, nih. Aku curiga. Apa dia suka padaku, ya? Tapi selama ini fans-fansku tidak pernah ada yang diam-diam, atau istilahnya secret admirer. Mereka langsung terang-terangan mendekatiku tanpa malu yang kadang membuatku jijik setengah mati. Contohnya Rida.

Hmm... siapa, ya, dia kira-kira?

Just One Dream(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang