Chapter One

27 5 0
                                    

   Diana meringis sakit di kepalanya, bau obat-obatan mengisi ruangan yang ia tempati. Bingung? Tentu saja. Pikirannya mencoba mengingat hal terakhir sebelum ia jatuh pingsan.

  "Gue dimana?" Ucapnya tertatih. Kepalanya yang diperban terasa nyeri. Diana mencoba bangkit dari posisinya.

 "Diana sayang, kamu jangan bangun dulu. Kondisi kamu belum pulih". Wanita itu menahan tubuhnya yang lemah.

  "Tante, ayah sama bunda mana?"  Tanya Diana setengah sadar.

  Wanita itu diam meratapi wajah pucat Diana. Dia baru saja bangun dari tidurnya selama seminggu. Berita ini pasti akan mengguncang jiwanya. Kasian sekali, masih remaja tapi ujian hidupnya sudah berat.

 "Tante panggil dokter dulu yaa. Kamu tunggu disini dulu sebentar". Tangannya mengelus pipi Diana lembut.

  Diana merasa jera, hatinya belum tenang jika belum bertemu ayah-bunda. Peduli setan kepalanya yang terus berdenyut. Diana ingin bertemu ayah-bunda nya sekarang juga. Tanpa ragu, Diana mencopot kasar selang infus di tangannya.

  Ia menyusuri lorong rumah sakit dan masuk ke seluruh ruangan yang ada disana. Tapi nggak ada satu pun kamar tempat ayah-bunda nya berada. Sempat menyerah, Diana bertanya ke salah satu suster di resepsionis.

  "Sus pasien atas nama Hardi Gunawan sama Jihan Marinka dirawat dikamar berapa ya?"

  "Maaf, Mbak, kedua pasien telah meninggal dunia. Jenazah mereka sudah dibawa pulang oleh kerabatnya". Jawab suster tersebut.

  "Apaa?!! Nggak mungkin, Sus! Orang tua saya nggak mungkin meninggal. Suster jangan sembarangan ngomong ya!" Diana berteriak histeris tak percaya dengan apa yang baru dia dengar. Kakinya lemas tak mampu menopang tubuhnya, akhirnya Diana terperosot ke lantai dan menangis sejadi-jadinya.

   Alhasil tangisan Diana menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang disana. Miranda lari terpongoh-pongoh menghampiri Diana yang tak berdaya di tempatnya.

  "Diana!!" Panggilnya sontak melihat keadaan Diana.

    Miranda mendekap tubuh Diana di pelukannya, tangis Diana semakin tak terkendali "Tante ayah-bunda nggak mati kan? Mereka ada kan?" Ucap Diana di sela-sela isakannya.

   Miranda tak kuasa membendung air matanya sendiri. Dirinya bahkan tidak tega mengatakan kebohongan atau kejujuran sekalipun. Miranda membiarkan Diana menumpahkan kesedihannya, beberapa suster beserta seorang dokter datang lalu menyuntikkan obat penenang ke Diana. Jarum suntik itu menembus kulitnya dan memasukkan cairan asing ke dalam tubuhnya. Setelah beberapa detik, Diana merasakkan efek aneh pada tubuhnya.

  'Ayah, bunda, mereka nggak mungkin pergi. Semua itu pasti bohong, ini mimpi kan? Tolong bangunin aku dari mimpi gila ini. Andai aku membuka mata, aku harap wajah ayah dan bunda adalah hal pertama yang kulihat'  

  Tangisnya perlahan reda, emosi yang tidak terkendali menjadi tenang, pandangannya mulai kabur, kemudian redup, dan akhirnya semua berubah gelap.

###

   "Diana, gue mewakili  semua turut berduka cita atas musibah yang menimpa lo beserta keluarga. Semoga orang tua lo diterima disisi-Nya ". Ujar Rio sang ketua kelas mewakili seluruh murid XI IPA 3.

   Diana tersenyum hambar menatap teman-temannya yang hening di meja masing-masing. Mereka semua terlihat simpati dengan dirinya.

   Bayangkan saja, menjadi anak yatim piatu tanpa saudara maupun kerabat. Itu berarti tidak ada tempat untuknya merasakan kehangatan keluarga seperti dulu.

Star Crossed LoverWhere stories live. Discover now