Lari Pagi

643 54 1
                                    


Rutinitas lari pagi sedang jadi tren di mana-mana untuk saat ini. Banyak teman-temannya yang sering update sedang lari pagi di Instagram dan Path. Tapi pada nyatanya, rata-rata dari mereka lebih banyak duduk di trotoar sambil mengobrol atau hanya melihat mobil-mobil yang berjualan running shoes KW 2 di pinggir jalan.

Fai menaikkan volume iPod-nya hingga mencapai batas maksimal. Ia tetap berlari di sepanjang ruas jalan Sudirman yang juga dipenuhi pelari dan pejalan kaki. Walaupun sebenarnya lebih banyak orang yang berdagang daripada yang benar-benar olahraga.

Seorang cowok dengan jersey biru tak sengaja menyenggo bahu Fai hingga earphone-nya terlepas.

"Sorry," gumam cowok itu sambil menoleh. "Eh, ada bidadari SMA Pelita Jakarta ternyata." Kali ini cowok itu langsung cengengesan, apalagi melihat raut sebal Fai saat mendengar kata 'bidadari'.

"Gila," gumam Fai pelan, kemudian ia berlari meninggalkan cowok yang merupakan tetangganya tersebut di belakang.

"Seminggu kemarin ke mana, Fai?"

Cowok itu bernama Theo, cowok paling bawel di muka bumi ini kalau menurut Fai. Dan yang lebih menyebalkannya lagi, cowok itu sekarang masih mensejajari langkahnya walau ia tak berhenti berlari.

"Di rumah," jawab Fai pendek.

"Bohong," tukas Theo langsung. "Rumah lo justru kosong seminggu ini."

"Gue ikut bokap-nyokap liburan."

"Ah, bohong lagi." Theo menukasnya lagi dengan santai. "Kalo bolos ajak-ajak kek, Fai."

Fai mendengus. Ia tak ingin menjawab pertanyaan Theo lagi, maka dari itu ia mempercepat larinya tiga kali lipat. Dan akhirnya hal itu berhasil membuatnya menjauh dari Theo. Si cowok tukang ikut campur urusan orang.

***

Sesampainya di rumah, Fai langsung membuka pintunya dengan keras dan berlari menuju dapur. Ia langsung meraih pitcher berisi air mineral dan menuangnya ke dalam gelas. Kemudian meminum isinya dengan rakus, berulang sampai empat kali.

Dengan napas yang masih terengah, pelan-pelan Fai beranjak duduk di kursi pantry. Ia terus berlari dari area CFD sampai rumahnya. Apalagi ketika melihat Theo yang naik ojek untuk menyusulnya di depan kompleks tadi, Fai terpaksa ambil jalan tikus sambil berlari dengan kencang.

Setelah napasnya agak teratur, Fai baru mengamati ke sekeliling rumah. Sepi. Mungkin satu-satunya suara yang terdengar hanya suara napasnya.

Ia pun beranjak menuju kamarnya di lantai dua. Di lantai dua hanya ada dua kamar, kamarnya dan Mama. Kamar Papa ada di lantai satu. Sengaja diatur begitu supaya kalau Papa mabuk, Papa tak tergeletak di tangga atau terguling karena mencoba naik dengan tubuh sempoyongan.

Sebelum masuk ke kamarnya, Fai berhenti di depan pintu kamar mamanya. Ia mencium harum cendana yang menjadi khas harum mamanya. Perlahan, ia buka pintu tersebut.

Saat sudah setengah terbuka, Fai melihat mamanya sedang terduduk di lantai dengan tubuh yang menyandar pada ranjang. Sepertinya ia tertidur.

Kemudian matanya mengarah kepada pergelangan tangan mamanya yang berdarah. Cukup banyak dari biasanya, namun tidak menghalangi bekas luka lainnya di daerah yang sama.

Fai menghela napas, ia tak ada niatan sedikit pun untuk menutup luka mamanya. Toh hal ini sudah biasa, bukan hal baru.

Ia pun menutup pintu kamar mamanya dan beranjak masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Pasti Papa bawa cewek lagi ke rumah, gerutu Fai dalam hatinya. Mamanya memang selalu menyilet pergelangan tangannya jika stres karena kelakuan sang papa.

Jadi, Fai memang tidak pernah berniat menutup luka di pergelangan tangan mamanya.

Toh luka itu akan terbuka lagi. Dan terluka lagi.

***


Love You, GoodbyeWhere stories live. Discover now