Senin itu tidak banyak perbedaan dari Senin yang lain di SMA Pelita Jakarta.
"Pagi, Fairy."
"Morning, My Fairy."
Fai hanya tersenyum jengah saat ada yang berusaha menggombalinya sepagi ini. Namun ia tetap membalas sapaan itu satu per satu.
Ia tiba di kelasnya, kelas 2 IPA 2, dan langsung beranjak menuju kursi paling belakang di samping jendela.
2 IPA 2 belum seramai kelas-kelas lainnya. Maklum, di antara lima kelas IPA yang ada di SMA Pelita Jakarta, hanya kelas 2 IPA 2 yang bandelnya sudah hampir tidak tertolong lagi. Setengah kelas baru akan terisi minimal di setengah jam setelah bel berbunyi. Sisanya, biasanya datang di jam pelajaran ketiga karena harus melakukan detensi atas keterlambatan mereka.
"Jadi elo yang namanya Fairy?"
Fai langsung mendongak begitu mendapati suara bass yang menyebut namanya.
Cowok itu ternyata jangkung—ralat, sangat tinggi untuk ukuran Fai yang hanya 155 senti. Matanya menatap Fai dengan tajam, entah ia memang sengaja seperti itu atau tidak.
"Iya," jawab Fai pada akhirnya. Ia sedikit kesal karena cowok itu membuatnya harus mendongak. "Sorry, ada apa ya?"
"Kapan mau ngerjain tugas Biologi? Lusa udah harus dikumpulin," jawabnya dengan sedikit menegur.
Fai tidak suka dengan gaya cowok ini yang sok bossy. Lagipula, siapa sih cowok ini?
"Lo salah kelas ya?" tanya Fai, tidak mengindahkan pertanyaan cowok itu. "Freak banget sih lo," gumam Fai.
"Lo yang bolos seminggu, Non." Ada nada mengejek dari suaranya, membuat Fai mendengus sebal. "Gue anak baru yang kena sial satu kelompok sama tukang bolos kayak lo."
Cowok ini benar-benar ahli dalam memancing emosi seseorang di bawah jam tujuh pagi—dan itu adalah emosi Fai.
Fai menggebrak meja dengan kesal, tapi cowok itu tidak berjengit kaget atau bereaksi apa pun. "Heh, lo sok tau banget sih. Nggak usah main nge-judge deh kalo nggak tau apa-apa."
"Temperamen, pula."
Fai melotot sepenuh hati.
Sebelum Fai sempat melontarkan makian, seseorang sudah terlebih dahulu menepuk bahu cowok itu hingga ia menoleh. "Dude, lo belum tau kalo sumbunya Fai pendek?"
"Sekarang tau," jawabnya cuek. Ia menaruh selembar kertas salinan dari guru Biologi mereka di atas meja tanpa berminat menatap Fai lagi. "Nih, kerjain yang gue tandain. Kalo udah, kirimin ke e-mail gue."
Setelah itu, ia pergi begitu saja.
Theo tertawa melihat ekspresi kesal luar biasa di wajah Fai. Ia menaruh tasnya di atas meja yang berada di belakang Fai, kemudian berpindah duduk di kursi samping Fai yang masih kosong.
"Namanya Gabriel," ujar Theo tanpa diminta. Fai masih menatap punggung cowok songong tadi melalui pintu kelas yang terbuka. Cowok itu sedang mengobrol dengan beberapa anak ekskul basket.
"Dia masuk pas lo nggak masuk, wajar sih lo nggak tau dia siapa."
"Gue juga nggak mau tau dia siapa," jawab Fai, memalingkan pandangannya sebelum cowok bernama Gabriel itu sadar bahwa ia sejak tadi menatapnya. "Belagu banget anaknya."
"Lo aja yang emosian, Fai."
"Apaan sih, kok gue!" tampik Fai. "Dia yang jelas-jelas—"
"Iya, iya, dia yang salah," sela Theo sebelum amarah Fai meledak—padahal kelas saja belum dimulai. "Cewek selalu bener, cowok selalu salah. Itu kodratnya. Hah."
Fai menggeleng, lalu memilih untuk mengabaikan kehadiran Theo dan mulai mencari iPod-nya di dalam tas.
"Fai."
"Apa?"
"Kenapa sih lo jadi tertutup sama gue?"
Pertanyaan Theo membuat gerakan Fai terhenti. Ia tidak memilih menatap ke sekeliling kelasnya yang masih kosong. Hanya ada mereka berdua.
"Dulu lo selalu cerita sama gue, Fai."
"Gue nggak mau ngerepotin," jawab Fai berusaha cuek.
"Kapan sih lo pernah ngerepotin?" Theo bertanya retoris. "Lo CFD-an terus pas gue susul malah lari dan bikin gue naik ojek dari depan kompleks buat nyusul elo, itu aja nggak ngerepotin. Apalagi ngedengerin lo doang."
"Lo nggak perlu ngerasa harus jadi 'telinga' gue, Yo."
"Tapi—"
"The truth is, gue terlalu malu sama semua masalah gue." Fai berkata cepat, sedikit takut ketika akhirnya hal yang ia rasakan sejak tiga bulan yang lalu akhirnya ia ucapkan di depan Theo. "Lo itu ... normal kayak anak-anak lain. Masalah lo yang paling gede palingan PR."
Theo diam. Namun matanya menatap Fai dengan intens, membuat Fai yang tadinya hanya melirik sesaat, jadi berani untuk benar-benar menatapnya.
"Gue bukan kayak ABG normal, Yo. Bokap-nyokap nggak jelas kayak apaan tau. Bokap bawa cewek udah kayak beli ayam goreng. Nyokap ngiris tangannya udah kayak nyokap lo lagi motong cabe saking seringnya. Gue?" Fai menghela napas berat. "Rasanya mau mati aja gue, Yo. Gue nggak tau kenapa sampe sekarang gue nggak make narkoba atau free sex sekalian gara-gara semua masalah itu."
"Anjrit, lo kalo ngomong nggak usah ngasal gitu, Fai," hardik Theo. "Lo tau kenapa lo nggak terjerumus sama hal-hal begitu? Karena selama ini lo punya gue. Tapi, udah tiga bulan ini lo ngejauh gitu aja. Dan itu bikin gue—juga semua keluarga gue, khawatir."
"Yo...."
"Plis, jangan ngerasa ngerepotin atau apa—karena kenyataannya ya nggak ngerepotin."
Rasanya Fai ingin menangis saat Theo mengatakan hal tersebut. Tapi sudah lama sekali sejak airmatanya terkuras habis, dan kini ia lupa bagaimana caranya menangis.
Ia selalu menjuluki Theo sebagai tukang ikut campur. Tapi sejujurnya, ia hanya merasa jengkel karena di semua masalahnya, ia merasa butuh Theo. Butuh pendapatnya. Butuh gumamannya saat mendengar ceritanya.
Dan tiga bulan lalu, ia sadar, ia tak ingin jadi ketergantungan terhadap Theo.
Tapi sekeras apa pun usahanya untuk menjauh, cowok itu selalu punya cara untuk meraihnya kembali.
Theo menendang ujung Converse abu-abu Fai. "Mewek aja sih kalo mau mewek," ucapnya sambil menyeringai jahil.
Fai langsung cemberut seperti biasanya. "Apaan sih lo, freak!"
Theo tertawa, kemudian menendang kaki Fai berkali-kali hingga cewek itu berteriak kesal—yang malah membuat Theo semakin menjadi-jadi.
***
Dari luar kelas, sesekali Gabriel melirik ke dalam. Tadi ia mendapati Theo dan cewek tukang bolos bernama Fai itu sedang bersitegang.
Sekarang, sudah ribut seperti tidak ada yang mereka risaukan.
Gabriel menghela napas, kemudian mengalihkan perhatiannya kembali pada dua orang dari ekskul basket yang tertarik untuk merekrutnya.
Sebenarnya ia tak ingin pindah sekolah. Tak ingin meninggalkan kehidupannya yang dulu.
Tapi demi sebuah balas dendam yang setimpal, ia harus melakukannya.
Karena cewek bernama Fairy itulah ia harus berada di sini.
Dia, alasannya.
***
YOU ARE READING
Love You, Goodbye
Teen FictionPapaku tak terhitung lagi sudah tidur dengan berapa perempuan. Mamaku selalu mengiris pergelangan tangannya setiap melihat Papa dengan perempuan lain. Aku selalu lari jika mereka berdua sudah jadi 'gila' seperti itu. Dan Theo si tetangga sebelah, se...