1.

120 8 0
                                    

1. Pertemuan pertama

**************************************************

Pagi itu aku disuguhkan dengan berita anak baru dari Palembang. Semua orang, dari mulai kelas tetangga sampe kelasku sibuk membicarakan sosok si anak baru yang katanya adalah seorang laki-laki.

Mendengar itu, cewek-cewek dikelasku jadi heboh. Mereka menerka-nerka bagaimana sosok anak pindahan itu.

"Kesiangan, lagi?" tanya Kei. Cewek bermata sipit dan berkulit putih yang tak lain adalah teman sebangku-ku sejak satu semester ini.

Untuk jawaban atas pertanyaannya aku nyengir kecil, menggaruk puncak kepalaku yang sebenernya engga gatel sama sekali. Kemudian aku menyimpan tasku di atas meja.

"Lagi heboh banget ngebicarain anak baru," kata Kei tiba-tiba. Matanya tidak menatapku sama sekali, melainkan menatap ke penjuru kelas.

Aku ikut-ikutan menatap ke sekitar kelas. Anak-anak kelasku sibuk masing-masing dengan membuat lingkaran baru di dalam kelas. Kalau peribahasanya, membuat lobang di dalam lobang. Di bangku tengah, ada geng Farida, geng yang terdiri dari empat orang cewek-cewek yang hobi menggosip. Semua gosip dari mulai yang jadul sampe yang terbaru mereka langsung tau, sedetail-detailnya. Kadang aku suka berpikir, darimana sebenarnya mereka tau semua itu?

Kemudian di bangku pojok paling belakang, ada geng Raka. Geng Raka adalah geng yang paling banyak personilnya, hampir semua anak-anak kelas cowokku bergabung di pojok belakang bersamanya. Aku tidak tau apa sebenernya yang mereka diskusikan, mereka selalu sibuk dengan ponsel mereka masing-masing dan jarang sekali bersuara kalau sedang fokus. Kalau kata Kei, mereka sedang berbagi kesenangan untuk malam hari.

Aku sendiri masih tidak mengerti dengan maksud perkataan Kei itu.

Kemudian di bangku paling depan, ada geng Gina, geng yang terdiri dari murid-murid pintar anak kelasku. Kalau geng itu aku tau sendiri apa yang mereka bicarakan, tidak jauh dari pelajaran dan ulangan yang menghantui kami setiap bulannya.

Sedangkan aku dan Kei termasuk pada orang-orang yang non-public, itu sebutan untuk anak-anak kelasku yang tidak gabung kemana-mana. Aku bukan anak pintar, bukan juga anak yang hobi menggosip dengan Farida. Aku lebih sering diam di bangku-ku, membaca novel atau memakan bekal yang ku bawa di rumah. Tidak ada yang aneh setiap harinya. Karena memang di masa SMA aku hanya ingin jadi anak yang tidak punya banyak masalah dengan siapapun, apalagi dengan senior.

**

"Pak Rubi dateng!" seru Ahmad, yang duduk di pojok paling depan. Dia adalah satu-satunya anak yang ditugaskan untuk melaporkan guru yang datang karena posisi bangkunya yang bisa melihat ke arah luar.

Semua lingkaran yang terjadi berpencar, pindah ke tempat duduk masing-masing. Mereka berakting menjadi murid yang sejak tadi diam dan tidak melakukan hal yang aneh.

"Selamat pagi!" sapa Pak Rubi ketika sosoknya muncul di balik pintu. Beliau adalah guru olahraga termuda sekaligus wali kelasku. Tubuhnya benar-benar bagus, wajahnya apalagi. Yang ku dengar, banyak murid sekolah ini terutama para senior perempuan ngeceng padanya. Akupun sebenarnya ngeceng kalau tidak sadar bahwa aku masih kelas sepuluh.

"Bagaimana pagi hari kalian?" tanya Pak Rubi dan semua anak-anak kelasku serempak menjawab baik. "Hari ini kebetulan kelas kita kedatangan anak baru. Kalian sudah dengar, kan?"

Bisik-bisik mulai terdengar. Geng Farida tidak menyembunyikan raut wajah kesenangan karena anak pindahan itu ternyata dipindahkan ke kelas kita.

"Hey, tenang, tenang." kata Pak Rubi, suaranya berubah tegas. "Kalau kalian berisik, Bapak tidak jadi memindahkan anak baru itu ke kelas ini."

[2] SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang