RIAN
Gue terbangun karena suara lembut seorang wanita menyebut nama gue, diikuti guncangan pelan di bahu. Rasanya baru beberapa jam gue tidur. Gue sama sekali nggak berniat bangun sekarang. Gue ngantuk!
Dengan kesal, gue menarik selimut lebih tinggi, menutupi kepala.
"Rian... subuhan dulu..." suara itu masih belum menyerah. "Nanti tidur lagi."
Gue membuka mata, berbalik untuk membentak siapa pun yang berani mengganggu tidur gue. Saat melihat wajah Dee sudah memakai mukena, keinginan itu menguap.
Oh God...
Gue menarik napas perlahan, menenangkan diri. "Duluan aja," ucap gue, berbalik memunggunginya, siap kembali tidur.
"Aku udah, Yan..." Dee kembali bersuara. "Udah hampir setengah enam, lho. Bentar lagi mataharinya muncul."
Gue menggertakkan gigi.
Laki-laki sejati nggak pernah ngomong kasar ke perempuan.
Laki-laki sejati nggak pernah bentak perempuan.
Laki-laki sejati nggak pernah mukul perempuan.
Kecuali lo udah punya niat operasi kelamin potong titit ke Bangkok, JANGAN COBA-COBA ngelakuin tiga tindakan hina itu!
Akhirnya gue menyingkirkan selimut, menggaruk kepala dengan mata setengah memejam. Jujur saja, gue jarang sholat, kecuali sholat Jumat. Apalagi sholat subuh, yang hanya gue lakukan saat sedang menginap di rumah Nyokap, itu pun setelah Nyokap mengguyur dengan segayung air supaya gue bangun.
Dengan langkah gontai, gue menuju kamar mandi, menutup pintunya. Bukan untuk mengambil wudhu. Tapi untuk melanjutkan tidur. Gue masuk ke bath tub, kembali memejamkan mata.
Rasanya baru semenit memejam, terdengar ketukan cukup keras di pintu.
"Rian? Kamu wudhu apa tidur lagi? Kok nggak ada suara air?"
Shit.
Sepertinya gue nggak akan mendapatkan tidur nyenyak kalau belum melakukan apa yang diributkan wanita itu. Dengan dongkol, gue mulai mengambil wudhu.
Tuhan benar-benar bisa meng-azab gue karena berani-beraninya ngambil wudhu dengan hati kesal.
Dee masih menunggu di depan pintu kamar mandi saat gue keluar. Dia sudah melepas mukenanya, menyodorkan sajadah dan sarung ke gue.
"Kiblatnya ke sana," dia menunjuk arah pintu.
Gue membentangkan sajadah, membaca niat, dan menjalankan sholat dua rakaat itu. Nggak sampai lima menit, gue selesai. Dee menerima sajadah dan sarung yang gue berikan dan membiarkan gue kembali tidur.
Kalau sekali dia dia ganggu tidur gue....
Gue cium dia sampai nangis.
**
DEE
Aku geleng-geleng kepala saat melihat Rian kembali tidur begitu selesai sholat. Tante Ratu, yang sekarang resmi menjadi ibu mertuaku, sudah mengingatkan kalau Rian sangat susah dibangunkan, apalagi untuk sholat subuh. Aku sendiri nggak alim-alim amat. Yang pasti, semua rukun Islam sebisa mungkin kukerjakan, kecuali bagian naik haji karena aku memang belum mampu. Dan aku ingin suamiku juga setidaknya menjalankan sholat dengan baik.
Berbeda dengan Rian yang bisa langsung lelap, aku nggak pernah bisa tidur lagi jika wajahku sudah terkena air. Aku menatap sekeliling kamar mewah itu, bingung apa yang harus kulakukan selama Rian tidur. Rencananya, aku dan dia akan check out siang nanti. Lalu aku akan ikut ke rumah ibu mertuaku dulu, sebelum ke apartemen Rian, di mana kami akan tinggal dan memulai rumah tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tied The Knot
Romance[Sudah terbit, bisa dicari di Gramedia/toko buku lainnya/toko buku online] #2 The Tied Series (Bab 7 s/d epilog sudah dihapus) Tiga hal paling penting bagi Rian dalam hidupnya; Mama, arsitektur, dan tidur panjang di hari Sabtu. apa pun akan dilakuka...