First Meeting

44 2 4
                                    

Recommended Song:  Sweet Holiday - CN Blue


"Eomma, Appa!" Jiah sedikit berteriak dan bangkit dari tempat duduknya. Ia tahu berteriak pada kedua orang tuanya sangat tidak sopan. Tapi tanpa sadar ia sudah berteriak begitu saja saking tak setujunya ia dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Tak ada kompromi lagi. Kau harus setuju!" jawab ayah Jiah dengan tenang tapi jelas terdengar suatu paksaan dari nadanya. Ia tak berhenti menatap anak semata wayangnya yang masih menunjukkan raut wajah tak setuju, marah dan ingin memberontak.

Jiah berpaling menatap ibunya yang berada tepat di samping Ayahnya. Jiah memang diam tak mengatakan apapun, tapi matanya berbicara seolah memohon kepada ibunya untuk membujuk ayahnya membatalkan semua keputusannya.

"Eomma pikir itu semua terbaik untukmu, Jiah-ya"

Terbaik untukku? Apa yang salah dengan kata-kata itu?

"Tidak! Itu semua hanya terbaik untuk appa dan eomma, tidak untukku!" Jiah kemudian berlalu, berjalan menuju tangga.

"Besok malam, jangan lupa kau harus ikut bertemu dengan keluarga Kim. Kita akan membicarakan lagi tentang pernikahanmu! Jangan pernah berpikir untuk kabur dari rumah!" Ayah Jiah tetap pada keputusannya dan memperingatkan Jiah untuk tidak kabur.

Jiah sama sekali tidak mengindahkan perkataan ayahnya dan terus melangkahkan kakinya menapaki anak tangga.

***

Jiah sibuk mondar-mandir seperti setrikaan. Sesekali ia mengintip ke dalam rumah. Lampu ruang tengah terlihat masih menyalah. Itu tandanya ayahnya masih belum tidur dan pastinya ayahnya masih menunggu kepulangannya untuk meminta pertanggungjawabannya atas tindakannya malam ini.

Jiah kemudian berjongkok di tepi jalan yang sepi. Malam memang sudah terlalu pekat. Bulan pun enggan menampakkan bentuk sabitnya yang begitu tipis, terhalang awan tebal. Seandainya saja tak ada lampu yang menggantung gagah di tiang sepanjang jalan, mata Jiah mungkin tak akan mampu menangkap apa pun untuk dilihat. Asap putih mengepul keluar dari mulut Jiah setiap kali ia menghembuskan nafas. Udara malam ini begitu dingin hingga menusuk ke tulang menembus beberapa lapis baju dan jaket tebal yang melapisi tubuh Jiah.

"Aaaah..."

Jiah berdiri tiba-tiba seketika ia melihat ruang tengah rumahnya telah gelap. Ia berjalan mengendep-ngendap mendekati pagar rumahnya. Sebelum memutuskan untuk masuk dengan memanjat pagar, Jiah terlebih dahulu melihat sekelilingnya. Setelah pasti tak ada satu pun orang yang akan menyangka dirinya adalah seorang pencuri, Jiah tak ragu-ragu memanjat pagar untuk masuk tanpa diketahui ayahnya. Pagar itu cukup tinggi, tapi itu tak menciutkan nyali Jiah untuk melompat dari atas pagar. Dan dengan sempurna Jiah mendarat di tanah disertai bunyi berdebam.

"Amaaan."Jiah berguman seraya menuju salah satu sisi rumahnya dan mulai memanjati dinding yang akan membawanya ke beranda kamarnya yang berada dilantai dua.

Seutas tali tambang ternyata sudah dipersiapkan Jiah sebelumnnya untuk membantunya memanjat hingga ke beranda. Sesampainya di beranda, dengan perlahan ia membuka pintu beranda kamarnya. Dan betapa terkejutnya Jiah seketika ia berada di dalam kamarnya, lampu kamarnya tiba-tiba menyala dan ayahnya sudah berada di kamarnya menunggu kepulangannya.

"Ups, Appa..."

"Katakan apa yang bisa kau jelaskan pada Appa mengenai tindakanmu yang membuat Appa malu malam ini?"

Jiah hanya diam tak berani menjawab dan menatap mata ayahnya, karna ia jelas tahu tindakkannya memang salah apapun alasannya.

Beberapa saat Ayah Jiah masih menunggu penjelasan dari Jiah. Namun tetap sama, tak sepatah kata pun keluar dari mulut Jiah. Kemudian Ayah Jiah beranjak dari tempat duduknya di tepi ranjang Jiah dan berlalu menuju pintu kamar. Di ambang pintu, Ayah Jiah berhenti dan membalikkan tubuhnya menatap Jiah yang masih bergeming di tempatnya.

Untitled StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang