Pulang dari tamasya ke bulan, aku tidak sabar ingin berbagi cerita pada keluargaku. Kelihatannya, keluargaku pun sudah menanti-nanti kepulanganku di balik pintu rumah kami. Karena begitu aku masuk, bunyi-bunyian dari "tarr!" hingga "teroreeeet" bersahut-sahutan. Mukaku dilempari potongan kertas warna selayaknya setan dilempar jumroh. Ibu mengalungkan kalungan bunga pada leher, sebelum berbalik menoleh pada bapak dan adikku di belakang. Rupanya itu aba-aba untuk bersama-sama menyeru,
"Selamat datang kembali di bumi!"
"...ah..."
Aku, masih, sangat-sangat capai.
Koperku kutinggalkan begitu saja di depan pintu tatkala ibu menggandengku masuk dan duduk di atas sofa.
"Adik, ambilkan air minum! Kakakmu haus!" perintah ibu pada adikku.
Anak lelaki itu langsung berlari ke dapur dan kembali dengan segelas air putih dingin. Langsung kuteguk sampai habis. Padahal aku tidak haus. Tapi aku tahu, sudah waktunya aku cerita dan aku akan haus setelah ini.
"Bagaimana jalan-jalannya? Semuanya lancar?" Ibuku langsung mencecar dengan pertanyaan. "Pemandangannya bagus? Kamu pergi ke mana selama di sana?"
"Baguuus! Bulan keren!" jawabku antusias. Adikku ikut merapat di sofa sementara bapakku menarik kursi mendekat. "Ternyata kita dibohongi. Permukaan bulan tidak berlubang-lubang seperti yang ada di tivi. Itu cuma area yang sedang ada konstruksi."
"Ooo...."
"Aku cuma sempat jalan-jalan ke Kawah Longomontanus, lalu ke Gunung Hadley Delta. Sesuai wejangan ibu, aku naik sampai puncaknya untuk berdoa di sana."
"Bagus!"
"Ya, aku merasa lebih dekat dengan Tuhan waktu itu. Mungkin karena posisiku lebih dekat dengan langit. Aku merasa Tuhan mendengar doaku lebih jelas. Ibu benar."
"Doa apa sih, Bu?" Bapak menoleh pada ibu. Bapak rupanya belum tahu bahwa tamasyaku ke bulan sebetulnya merupakan perjalanan suci dalam rangka misi spiritual. Idenya ibu.
"Doa minta jodoh."
"Astaga!"
"Kenapa sih, Pak? Siapa tahu anak kita ketemu jodoh. Sudah cukup umur lho!"
"Tapi, Bu...."
"Sst, sudah." Aku melerai mereka. "Sayangnya aku tidak melihat ada pria tampan di bulan," tuturku dengan muka serius. Habisnya turis, mau tampan mau tidak, tetap saja mukanya tidak kelihatan karena tertutup helm.
Ibu tidak mengatakan apa-apa, tapi dari pundaknya yang turun, aku tahu dia kecewa. Perjalanan untuk mengemong cucu ternyata masih jauh, mungkin begitu isi pikiran ibu. Tapi, hmph, ibu tidak tahu saja. Ibu belum tahu karena aku belum bilang. Aku punya kejutan untuk ibu dan mereka semua. Tapi tunggu,
"Ehm."
Adikku tahu-tahu saja sudah berjongkok di depan koperku. Ia bangun lalu menariknya sampai ke pinggiran sofa. "Kak, sepertinya ada yang aneh," katanya, "Kopernya masa enteng sekali. Kakak ingat kan oleh-oleh yang aku minta?"
Aku mengangguk. Jelas aku ingat, aku bahkan sudah beli. Kaus tangan pendek bertuliskan cetak sablon "Visit Bulan" dan jam tangan anti regolith. Aku juga sudah mengemas beberapa pernak-pernik khas bulan untuk dipamerkan ibu pada teman-teman arisan korban sesumbarnya, antara lain batu bulan, pasir bulan, dan sekantung udara bulan dalam plastik transparan. Bapak tidak minta apa-apa, tapi aku tahu bapak akan senang selama kuhabiskan uang untuk barang yang ada gunanya. Makanya aku pikir bapak akan senang dengan masker oksigen dalam kotak P3K versi bulan yang kuborong. Lumayan kalau-kalau asmanya kambuh.
"Di bandara," aku mulai bercerita, "koperku tertukar dengan penumpang lain. Aku baru sadar waktu aku buka kopernya."
"Terus oleh-olehku?!"
"Dengar dulu!" kataku memaksa. "Untungnya aku bisa ketemu orang itu," aku berhenti sejenak, "mungkin jodoh." Kusaksikan mata ibu berkilat semangat. Kulanjutkan lagi, "Aku mengobrol dengannya. Dia lelaki yang baik dan menyenangkan dan—"
"Jadi oleh-olehku aman kan?"
Aku tidak suka ceritaku dipotong, jadi kubalas dengan mengabaikan pertanyaan adikku. Lagipula, aku sedang masuk bagian yang paling penting.
"—menarik. Dia menitipkan kopernya padaku dan aku menitipkan koperku padanya."
"Kakak!" Adikku menghardik, matanya memelototiku.
"Oleh-olehmu aman di tangannya, berisik." Aku jadi kesal sendiri.
Adikku mungkin khawatir oleh-olehnya raib lantaran aku kena tipu atau apa. Aku tidak sebodoh itu. Aku sudah melihat isi kopernya. Ia meletakkan sesuatu yang lebih penting, lebih mahal, dan lebih berharga dari barang apa pun dalam koperku yang ia bawa.
"Lagipula aku bisa ke bulan lagi nanti, tapi kesempatan seperti ini," aku menoleh pada ibu, "ibu akan dapat calon menantu, aku yakin hanya akan terjadi sekarang!"
"Calon menantu?" Aneh. Dalam bayanganku ibu akan bicara begitu sambil memekik girang, bukan terbengong-bengong heran.
"Ya! Calon menantu! Rupanya memang tidak ada yang namanya kebetulan. Rupanya jodoh itu memang sudah ditakdirkan Tuhan!" ucapku masih semangat, berharap bisa membangkitkan binar-binar di mata ibuku. "Tidak sia-sia aku ke bulan. Secepat itu doaku dikabulkan, Bu!"
"Coba buka kopernya, Dik, kakakmu mungkin dapat cincin berlian. Bisa jadi itu DP mas kawin atau seserahan!"
"Tapi bu..." adikku memasang tampang bingung sambil membuka kopernya lebar-lebar, "...tidak ada apa-apa di sini."
"Oh, bukan!" Aku tersenyum lebar sekali. "Dia menaruh hatinya dalam koper itu, jauh lebih berharga daripada isi koperku yang tidak seberapa."
"Nak," Ibu menarik napas panjang, "adikmu bilang kopernya kosong."
"Itu karena hatinya masih kosong saat ini, Bu. Tapi tenang saja, akan segera kubuat hatinya penuh dengan perasaan cinta buatku sebelum kukembalikan nanti." Aku tertawa terbahak. "Jangan khawatir, Bu! Ibu akan segera dapat menantu!"