Bapak Insinyur Haji Suaeb yang terhormat akhirnya bisa bernapas lega dini hari itu. Maklum, persiapan pemakamannya akhirnya beres setelah gelar "Ir. H." selesai ditambahkan pada nisan marmer pesanannya.
Haji Suaeb, seperti semua orang di dunia ini, juga punya tanda lahir di tangan kiri yang berisi delapan angka yang jadi penanda tanggal berapa ia meninggal. Waktunya tidak lama lagi, menurut tanggal di situ, betul-betul tidak lama. Dapat dipastikan Haji Suaeb akan mati hari ini, entah pagi, siang, atau malam.
Tahu kapan mati membuat kematian itu sendiri jadi tidak menakutkan. Apa yang ditakuti kalau mereka bisa menyiapkan jauh-jauh hari? Haji Suaeb, misalnya, ia telah menyewa organizer kenamaan yang sudah menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkannya untuk meninggal. Paket komplit plus, bukan cuma menyediakan layanan pemandian hingga penguburan jenazah, tapi juga termasuk iringan isak tangis pelayat dan bimbingan syahadat oleh seorang ustadz.
Untuk masalah akhirat pun Haji Suaeb sudah siap. 'Insya Allah' sudah, katanya. Itulah gunanya organizer. Sementara timnya menyiapkan keperluan seperti nisan, keranda, dan lain sebagainya, Haji Suaeb bisa fokus ibadah siang malam di mesjid sebelum waktunya tiba. Ketika pagi hari itu tiba, Haji Suaeb bahkan belum tidur semalam suntuk karena terlalu sibuk tahajud sambil menunggu revisi nisannya beres.
Banyak warga yang sudah datang memadati rumah Haji Suaeb. Maklum, selayaknya orang kaya pada umumnya, hari kematian Haji Suaeb membawa berkah yang luar biasa bagi warga kampung sekitar. Beseknya sudah pasti mewah. Pun, sebagai bentuk amalan terakhir sebelum malaikat Raqib tutup buku, mereka yakin pastilah Haji Suaeb akan bagi-bagi rezeki lewat sedekah. Apalagi Haji Suaeb hidup seorang diri, istrinya meninggal lebih dulu sebelum mereka sempat punya keturunan.
"Bagaimana, Pak Haji, sudah kelihatan?"
Haji Suaeb tengah berbaring di atas dipan. Di pinggir dipan itu, disediakan meja dengan dua buah quran, rencananya buat tadarus sewaktu nanti jenazahnya disemayamkan. Tapi Haji Suaeb belum mati. Matanya memicing lewat jendela, pintu, atap, sekeliling ruangan. Tidak ada sosok mencurigakan Izrail di situ. Ia menggeleng. "Belum, Dok."
Dokter melirik jam dinding di kamarnya. Stetoskopnya diletakkan di dada Haji Suaeb.
"Dok, kira-kira kapan saya mati?"
"Dokter kan bukan Tuhan, Pak Haji."
"Apa Dokter tidak bisa suntik mati saya atau apa begitu? Tidak masalah kan mati sekarang atau lima menit lagi. Toh sama saja hari ini mati juga."
"Tidak saya sarankan, Pak Haji. Kalau belum waktunya, nanti jadi kematian yang prematur. Pak Haji tahu kan, bunuh diri itu dosa besar?" Dokter tersenyum lalu meninggalkan pria paruh baya itu sendirian di kamarnya.
Matahari tergelincir ke waktu dhuha, dhuha ke zuhur, zuhur ke ashar, ashar ke maghrib. Haji Suaeb sholatnya lama sekali, berharap ia mati sewaktu sedang sujud. Kematian khusnul khatimahnya pasti nanti akan menjadi inspirasi. Setelah azan isya ikut berkumandang dan Pak Haji selesai sholat sampai ke rawatib-rawatibnya, ia berzikir lama-lama. Selesai zikir ia berdoa.
"Ya Allah, Izrail kalau mau cabut sekarang, suruh cabut saja, ya Allah. Jangan ditunda-tunda. Hamba sudah tidak tahan menanti." Begitu kira-kira isi doanya sebelum ia mengusap mukanya.
Tapi hampir masuk tengah malam, doanya belum juga terkabul.
Warga yang mampir mulai bosan menunggu Haji Suaeb yang belum mati juga. Mereka khawatir makanan dalam besek dan hidangan untuk tahlilan nantinya keburu basi. Bukan cuma warga yang tidak sabaran, tapi juga pihak penyelenggara. Kalau urusan matinya Haji Suaeb belum selesai, jadwal mereka bisa berantakan.
Dari jendela kamarnya, Haji Suaeb mengintip warga yang memadati halaman rumahnya mulai ribut-ribut. Ada yang kipas-kipas, ada yang menepuk-nepuk pundak anaknya yang menangis dalam gendongan, ada anak kecil yang menarik-narik tangan ibunya. Ratusan orang mendoakan Haji Suaeb mati malam itu juga. Haji Suaeb sadar akan hal itu dan mau tidak mau jadi sakit hati karenanya.
Pintu kamarnya terdorong sedikit.
"Mohon izin, Pak Haji, sudah mau jam dua belas."
Haji Suaeb mengangguk, mempersilakan kamarnya dimasuki seorang pria berpakaian hitam. Haji Suaeb langsung bangkit dari posisi duduknya di atas sajadah.
"Izrail?"
"Bukan, Pak Haji. Saya salah satu kru yang bapak sewa."
"Jahannam si Izrail itu," maki Haji Suaeb, "jam segini belum juga datang."
"Justru itu, Pak Haji, kami tahu bapak capek menunggu. Makanya kami mau membantu Pak Haji." Lelaki itu menyodorkan segelas minuman dalam cangkir dengan tatakan keramik. "Biar lebih cepat tidur."
Haji Suaeb menerima cangkir itu dengan suka cita. Warnanya hitam pekat, seperti kopi. Baunya enak, seperti kopi. Menggodanya untuk menenggak habis minuman itu.
Lelaki berpakaian hitam itu bicara pada walkie-talkienya, "Panggil Pak Ustadz! Cepat! Waktunya syahadat!"
***
Haji Suaeb terbangun lewat cahaya silau-silau-hangat matahari yang masuk lewat kisi-kisi jendelanya, juga suara berisik seperti pembacaan mantra lewat dengungan bersama-sama. Haji Suaeb kemudian sadar pada fakta bahwa ia masih bisa melihat meski pandangannya agak blur, juga masih bisa mendengar suara meskipun tidak jelas. Bukankah ini artinya satu hal? Haji Suaeb belum mati.
Ini hal yang memalukan karena undangan pemakamannya sudah disebar dan dijadwalkan hari ini. Masa Haji Suaeb yang harusnya mati kemarin tahu-tahu hidup lagi? Haji Suaeb tidak bisa bicara meski ia ingin mengumpat tentang Izrael dan kru organizer yang ternyata racunnya tidak mempan.
Dua orang lelaki besar masuk ke kamarnya. Yang satu dengan sapu lidi di tangannya dan yang satu berdiri di belakangnya dengan tampang ketakutan. Haji Suaeb yang begitu berang, memandang mereka galak sambil mendekati mereka dengan merayap di atas seprai putih tempat tidurnya, yang hari itu rasanya lebih besar dari biasanya.
"Nah, itu! Tahu-tahu saja dia muncul tadi pagi!" kata pria di belakang sambil menunjuk-nunjuk ke arah Haji Suaeb. "Cepat bunuh!"
"Halah, begitu saja takut," pria yang satunya mengayunkan sapu lidinya ke arah Haji Suaeb, "kan cuma kecoak."