"Pung...Opung...." Anak perempuan berumur sepuluh tahun itu berlari menuju Neneknya. Rambutnya yang dikucir kuda bergerak lincah. Wanita yang dituju masih asyik mengunyah sirih.
"Ada apa, Boru?" Wanita paruh baya itu menyambut hangat cucunya.
"Pung, kata Mama Opung pandai mendongeng. Aku mau dengar dongeng dari Opung," Matanya yang bulat menengadah.
"Tentu. Sini, duduklah dekat Opung." Dengan sigap perempuan mungil itu duduk bersila di dekat Neneknya.
Setelah membuang sirihnya ke dalam wadah kecil, wanita yang berhias keriput itu mulai bercerita.
"Dulu, ada seorang anak perempuan bernama Mauli yang hidup di Tanah Batak. Seperti namanya, Mauli parasnya cantik kali. Banyak pemuda yang mau menikahinya. Sebelum menikahi Mauli, mereka harus mendapat restu dari kedua orang tua Mauli."
"Terus, Pung?"
"Dari banyak pemuda, ada satu pemuda yang menempuh cara yang tidak baik untuk mendapatkan restu kedua orantua Mauli. Dia menggunakan ilmu hitam agar orang tua Mauli merestuinya menikahi Mauli. Bukan lagi merestui, malah Mauli dipaksa oleh kedua orangtuanya menikah dengan pemuda yang tak dicintainya itu."
"Kasihan kali, Pung. Terus, Pung?"
"Mauli terpaksa menikahi pemuda itu. Beberapa tahun kemudian, Mauli melahirkan seorang anak perempuan yang cantik seperti dia. Bukannya senang, Mauli malah merasa was-was anaknya akan bernasib sama dengannya. Dicintai banyak orang karena kecantikannya, tapi justru tidak menikahi orang yang dia cintai."
"Akhirnya dia memutuskan membuat luka di wajah putrinya yang cantik itu. Dia berharap, putrinya kelak akan menemukan orang yang mencintainya apa adanya, bahkan dengan luka yang sudah dia buat di wajah anak perempuannya."
"Ah, nggak adil, Pung."
Wanita itu diam. Tangannya perlahan menyentuh gores-gores bekas luka di pipinya yang sudah tersamar keriput. Goresan luka yang pernah amat perih. Goresan luka yang dibuat untuk menyiasati terulangnya masa lalu.
Nb:
Opung: Nenek
Boru: Anak perempuan