Sebelumnya author mau kasih tau kalian, kalo cerita Hello Karin adalah cerita kedua author, sedangkan cerita pertama author yang judulnya Rain lagi tahap revisi, karena adanya perbaikan untuk cerita tersebut. Maklum cerita Rain bahasanya masih acak-acakan banget, penulisannya pun masih kacau balau karena masih tahap belajar, jadi untuk sementara author bikin cerita Hello Karin, semoga kalian suka yah. Jangan lupa vomment nya.
Satu tahun lalu
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi ayah dan mama sama sekali belum pulang. Sudah berapa kali Karin gelisah menunggu Ayahnya dan Mamanya di ruang tamu sambil menonton tv, bahkan Karin sama sekali tidak memperhatikan acara yang disiarkan tersebut.
Tokk
Tokkk...
Karin berlari ke arah pintu setelah mendengar suara ketukan pintu, itu pasti Ayahnya dan Mamanya. Tangannya segera terulur memegang knop pintu dan bersiap membuka pintu. Dahi Karin mengerut bingung ketika melihat Ayahnya berdiri dihadapannya dengan raut sedih, tapi dimana Mama??
"Ayah kenapa? Terus Mama dimana Yah?" tanyanya bertubi-tubi.
Ayah Karin masih berdiam diri di depan pintu dan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Tubuh Karin kaku ketika Ayahnya tiba-tiba memeluknya erat sekali, sebenarnya apa yang terjadi?
Dapat Karin rasakan kaos yang ia pakai basah, sepertinya Ayahnya sedang menangis. Tangan Karin yang tadinya membalas pelukan Ayahnya segera terulur mengelus punggung Ayahnya tersebut.
"Rin Mama rin.." ucap Ayah terputus.
"Mama kenapa Yah?" tanya Karin penasaran.
Ayah melepaskan pelukannya dan menatap kedua mata Karin "Mama udah pergi Rin, Mama udah meninggal. Penyakit kankernya udah menjalar ke tubuhnya."
Detik itu juga, tangan Karin terulur menutupi mulutnya agar tidak terisak. Air mata yang sedari tadi Karin tahan untuk tidak keluar, sudah menerobos keluar dan mengalir membasahi pipinya.
Ya Tuhan, secepat inikah kebahagiaan ku diambil oleh Mu? Kenapa semuanya bisa seperti ini? Batinnya yang masih terisak.
Karin sudah tidak sanggup lagi menopang tubuhnya, detik itu pun Karin meluruh ke lantai, bahkan Karin menghiraukan Ayahnya yang terus memanggil-manggil namanya.
Kebahagiaannya sudah hancur saat ini, kenapa penyakit Mama bisa menjalar secepat ini?? Karin pikir akan ada mujizat, sehingga penyakit Mama bisa di sembuhkan.
Bilang kalau semua ini hanyalah bunga tidur nya, bilang kalau ini hanyalah sebuah ilusi belaka yang terlintas sementara. Ya Tuhan ia benar-benar berharap kalau ini semua hanyalah fatamorgana sesaat, ia benar-benar berharap kalau ini semua tidak terjadi.
Kepala Karin sudah mulai di landa pusing, ia sudah tidak kuat dengan semua ini. Dia benar-benar tidak bisa menahan rasa sakit di dada dan di kepalanya lagi, Ayahnya hanya bisa memanggil-manggil nama Karin dengan panik sebelum semuanya menjadi gelap gulita yang ia rasakan.
****
Sudah dua jam lebih Karin membereskan barang-barangnya yang akan di bawa ke rumah baru yang ada di Jakarta, mobil pengangkut barang pun sudah lebih dulu pergi ke Jakarta.
Sudah seharusnya ia dan Ayahnya siap memulai kehidupannya yang baru, ia tak mau lagi melihat Ayahnya bersedih terus. Mungkin ini adalah keputusan yang benar untuk meninggalkan rumah ini, dan menjalankan kehidupan sehari-hari mereka lagi.
Setelah semua barang-barang telah Karin bereskan dan di masukkan ke dalam kardus, Karin segera melangkah ke ruang tamu untuk menghampiri Ayahnya yang sedang menunggunya.
"Rin semuanya sudah beres?"
"Sudah Yah, nih barang-barang Karin sudah ada di kardus." ujar Karin melirik kardus bawaannya.
"Sini Ayah yang taruh di mobil, kalau sudah tidak ada yang ketinggalan lagi kita berangkat." ucap Ayah yang telah mengambil kardus yang tadi Karin bawa.
"Yaudah Ayah duluan aja, nanti Karin nyusul." ucap Karin sambil tersenyum.
"Yaudah jangan lama-lama yah, Ayah tunggu dimobil. Nanti kita ke makam Mama dulu yah Rin." ujar Ayah, Karin pun mengangguk sebagai jawabannya.
Setelah Ayah pergi meninggalkan Karin sendiri di tempat ini, Karin terus saja melihat sekeliling rumahnya yang akan ia tinggalkan, banyak sekali kenangan-kenangan yang selalu ia ingat ditempat ini.
Langkah demi langkah terus Karin jalani, hingga tepat kini ia berdiri di ruang keluarga. Tempat dimana Karin dan keluarganya sering menghabiskan waktu bersama diruangan ini.
"Ayah ayo kita main kuda-kudaan lagi."
"Tadi kan udah Karin, Ayah udah capek nih." ucap Ayah yang telah kecapean.
"Ih Ayah, Karin kan masih mau main lagi." rengek Karin sambil menarik lengan Ayahnya.
"Ada apa sih sayang, kok tangan Ayah ditarik-tarik gitu." ujar Mama menghampiri Karin dan Suaminya.
"Karin mau main kuda-kudaan Ma, tapi Ayah gak mau."
"Ayah kan lagi capek sayang, nanti lagi yah mainnya, nih Mama bawain pancakes buat kamu." ujar Mama yang telah menaruh pancakes di meja ruang keluarga.
Karin pun melompat-lompat senang melihat pancakes buatan Mamanya "Asik, Mama buatin Karin pancakes lagi"
"Gimana enak gak?" tanya Mama sambil bersender duduk dekat Suaminya.
"Enak banget Ma, Mama sering-sering buatin Karin pancakes yah." seru Karin yang masih asik memakan pancakes.
"Iya Mama janji sering-sering buatin Karin pancakes setiap hari." ujar Mama tersenyum.
Saat ini Karin benar-benar seperti melihat adegan-adegan film di depan matanya, bahkan ia tidak sadar kalau ia meneteskan air mata sehingga membasahi pipinya.
Begitu sakit mengingat kenangan bersama Mama, terlalu banyak sekali kenangan ditempat ini. Mama kenapa tinggalin Karin? Mama kan udah janji bakalan buatin pancakes kesukaan Karin lagi.
Karin hanya bisa terus menangis mengingat janji Mama kepadanya,dan mengingat kenangan-kenangan yang ada di rumah ini. Dengan cepat ia menghapus air mata yang sudah membasahi pipinya. Aku tidak boleh terus terpuruk karena kepergian Mama, Mama pasti sedih melihat aku terus menangis batin Karin
Setelah cukup lama Karin bernostalgia, ia segera melangkah keluar dari ruang keluarga dan menghampiri Ayahnya yang sedang berada di dalam mobil untuk menunggunya.
"Ayo Yah berangkat" ucap Karin yang baru saja masuk kedalam mobil dan segera menutup kembali pintu mobil. Mobil Ayah pun segera keluar dari halaman rumah, Karin segera menoleh ke belakang untuk melihat rumahnya untuk terakhir kalinya. Selamat tinggal Ma.
Ayah Karin hanya dapat menghembuskan nafas gusarnya, melihat putrinya terlihat sedih meninggalkan rumah lamanya "Kamu gakpapa kan Rin?"
Karin menoleh ke samping dan mendapati Ayahnya yang terlihat cemas memperhatikan dirinya "Aku gakpapa kok Yah." ujar Karin sambil tersenyum.
"Kita harus memulai semuanya lagi yah Rin, kita gak boleh terus terpuruk dengan keadaan ini." ujar Ayah Karin.
"Iya Yah karin ngerti kok." Ayah segera mengulurkan tangan kirinya mengelus rambut putrinya sambil terus mengemudi kendaraan mobilnya. "Yaudah kalau kamu ngantuk tidur aja, perjalanan ke makam Mama lumayan lama."
"Yaudah Karin tidur dulu yah, nanti kalau sudah sampai bangunin Karin." ujar Karin yang mulai memejamkan matanya perlahan-lahan. Semoga dengan pindah ke Jakarta aku dan Ayah dapat menjalankan aktivitas kami seperti biasanya, meskipun dengan suasana baru batin Karin sebelum matanya benar-benar terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Karin
Teen FictionSudah satu tahun semenjak kepergian Mamanya, Karin tidak pernah merasakan kebahagian lagi. Bahkan Ayahnya yang selalu menghibur Karin di saat sedih, juga di landa kesedihan sama seperti dirinya. Tidak ada lagi tawa yang menggema di rumahnya, tidak a...