Chapter 3

1.1K 133 58
                                    


Entah gimana caranya aku bisa melalui hari ini dengan selamat. Tubuh, hati dan pikiran berasa nggak sinkron. Nggak tau deh hari ini berapa kali nendang tong sampah yang ada di samping meja kerjaku. Nggak tau juga berapa kali ditepokin Aiman karena dipanggil nggak nyaut. Untung aja lagi nggak dikejar deadline. Yang ada di otakku cuma Angga dan Siska.

Siska dan Angga. Membayangkan mereka berdua bersama, well, nggak buruk juga sih. Satu-satunya yang bakal jadi buruk cuma hatiku. Sepupuku itu emang wanita idaman semua pria. Cantik, tinggi, pinter, baik hati, suka menolong, tapi aku nggak tau dia rajin nabung atau nggak. Aku nggak pernah kepo-in saldo tabungan dia soalnya.

Balik lagi bahas Angga dan Siska. Mereka ini aku yang ngenalin. Aku inget banget waktu itu minta tolong sama Angga agar nerima Siska—yang lagi nyari kerja—di perusahaan ini. Dan karena saat itu sedang tidak ada perekrutan pegawai, jadilah Angga merekomendasikan Siska ke perusahaan temennya yang ada di lantai tiga delapan gedung ini. Perusahaan advertising. Mungkin dari situ mereka jadi dekat.

Siska bukan tipe cewek manja yang suka bergantung sama orang lain. Dia nggak akan meminta bantuan selama dia bisa melakukannya sendiri. Siska juga perempuan berwawasan luas yang enak diajak diskusi. Nggak heran kalo Angga bisa suka sama dia. Akupun nggak bisa berbuat apa-apa kalo ternyata lamaran Angga diterima. Mana tega aku ngerencanain siasat busuk memisahkan mereka berdua. Berdoa mereka pisah aja nggak berani. Paling doaku, Ya Allah... kalo emang Angga itu jodohku, mohon datangkan jodoh untuk Siska, kalo Angga bukan jodohku, tolong datangkan jodohku yang kayak Angga, Amin. Tetep ogah rugi aku mah!

Hubunganku dengan Siska memang nggak begitu dekat, tapi nggak bisa dibilang jauh juga. Kita memang kerja di satu gedung, tapi intensitas pertemuanku dengan dia bisa dikatakan agak jarang. Kami akan saling menghubungi saat kami membutuhkan bantuan. Nggak ada yang namanya nanya kabar, say hi, atau segala macam basa-basi busuk lainnya.

"Permisi Bu!" Aku tersentak saat seseorang menepuk bahuku. Ternyata kondektur yang ingin memeriksa tiket kereta.

Kampret gue dipanggil ibu. Langsung kuserahkan tiketku untuk dilubangi tanpa menatap muka tuh orang, dan diapun pergi setelah melakukan pekerjaannya.

Saat ini aku sedang berada di dalam gerbong kereta menuju kampung. Izin cuti dan urusan pekerjaan sudah aku serahkan ke Aiman. Fokusku sekarang hanya pada acara lamaran yang akan terjadi. Bahkan urusan makanpun rasanya juga lupa. Makan siang tadi hanya dengan donat dan kopi yang Mas Isa bawa. Aku memang tidak merasa lapar.

Suasana di luar sangat gelap. Cocok banget dengan suasana hatiku saat ini. Gelap. Suram. Haah ... aku hanya bisa menghela napas. Sesak aja rasanya membayangkan selama ini ternyata Angga punya rasa yang terpendam ke Siska.

Apa selama ini mereka diam-diam suka jalan berdua? Kenapa Angga nggak pernah sama sekali nyeritain perasaannya untuk Siska ke gue?

Begitu banyak pertanyaaan yang ada di benakku. Dan aku bingung apakah aku pantas untuk mengutarakan pertanyaan-pertanyaan tersebut ke salah satu di antara mereka. Terutama ke Angga.

Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas, bermaksud untuk mengirimkan pesan ke Ayah kalau aku saat ini sedang dalam perjalanan. Tidak lupa kuberitahu Ayah agar tidak usah menjemputku. Ketika akan memasukkan ponsel kembali ke dalam tas, sebuah panggilan masuk ke ponsel.

Mas Angga. Begitu ID yang tertera. Aku abaikan panggilan itu. Entahlah, aku merasa belum siap untuk mendengar suaranya. Apalagi untuk mendengarkan curahan hati dia yang deg-degan mau ngelamar anak gadis orang yang belum pernah dipacarinya.

Nada panggilan terdengar lagi dan kembali aku abaikan. Tidak lama kemudian ponsel kembali berbunyi, namun kali ini menandakan adanya pesan masuk.

Mas Angga:

Ping!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang