Oke, kayaknya gue punya skenario indah.
"Kemana aja sih, kamu? Lama banget." Ucapku, sedikit jijik.
Liam menatapku bersalah. "Tadi ada urusan bentar." Si Ayam mendekat dan merangkul pundakku sok mesra, iuh. Aku hanya tersenyum manis ke arahnya. Habis ini lo mampuz! Awas aja ya!
Ekspresi Rachel syok abis. Dia menatap Liam dan aku seperti kami adalah makhluk dari luar angkasa. Zayn hanya menatap Liam tajam.
"Liam?!" teriak Rachel.
Liam tersenyum menampakkan gigi-giginya. "Hai, Chel. Kabar baik?"
Rachel menutup mulutnya. Lebay. "Kamu sama... dia pacaran?" Rachel mengucapkan kata 'dia' sambil melirik ke arahku.
Liam menatapku dengan lembut. "Menurutmu?"
Tiba-tiba pergelangan tanganku ditarik paksa oleh seseorang.
"AW! SAKIT, ZAYN!" teriakku.
Zayn menyeretku keluar dari aula sekolah yang sudah dihiasi bebagai macam aksesoris. Seperti film, seluruh mata menuju ke arahku. Dan aku seperti patung yang tak bisa merasakan apa-apa saat Zayn membawaku.
"Zayn! Apaan sih!" teriakku.
Zayn masih tidak menjawab.
"JAVADD!"
Aku memanggil nama tengah Zayn. Dan itu ampuh. Zayn langsung berhenti dan melepaskan tanganku dari genggamannya. Matanya masih berkilat marah. Hei, aku sudah kenal dia sejak lama. Napasnya memburu. Dia... marah? Karena apa?
Dan aku baru sadar. Sekarang aku dan Zayn sedang berada di depan gedung lapangan futsal indoor. Dan tempat ini memang sepi. Dari jaarak jauh hanya ada beberapa anak. Tapi selebihnya memang daerah ini tidak seramai aula.
"Jadi maksud lo apaan narik-narik gue kemari. Lo pikir ditarik paksa kayak tadi nggak sakit?!"
Zayn menatapku.
"Zayn! Lo ndengerin gue nggak sih?!" Racauku.
"Mal, Liam sama lo ada hubungan apa?"
Aku menatapnya bingung. "Oke, emang gue sama dia kelihatan kayak punya hubungan?"
"Gue cuma butuh jawaban iya atau nggak!" bentaknya.
Aku tersentak. Zayn membentakku? Dia beneran membentakku?
Dadaku bergemuruh. Mataku terasa sangat panas. Apa dia lupa aku paling tidak bisa dibentak?
"Kenapa lo semarah ini sih?! Gue salah apaan hah?! Gue sama Liam emang deket. Tapi kita belum sampe ke hubungan spesial macem lo sama Rachel!"
"Belum?! Lo bilang kalian belum-sampe-ke-hubungan-spesial-macem-gue-ama-Rachel?! Berarti kemungkinan kalian bakal punya hubungan yang lebih dari ini!"
Aku menatap Zayn tidak mengerti.
"Maksud lo? Gue nggak ngerti deh Zayn. Lo tiba-tiba aja nyeret gue kesini. Bentak gue, padahal lo ngerti gue anti banget sama bentakan. Terus marah-marah tanpa alasan yang jelas. Lo maunya apa?!"
Aku menatap Zayn dalam. Begitupun dia.
"Gue mau lo jauhin si Liam!"
Aku melongo. Menatap Zayn tidak percaya.
"Jauhin Liam? Zayn..." Aku menggeram. "Lo nggak jelasnya keterlaluan! Dengan alasan apa gue harus jauhin Liam? Lagian, gue gak bakalan bisa jauhin dia. Dia selalu ada buat gue! Nggak kayak lo! Kita udah sahabatan dari kecil, tapi lo bahkan nggak pernah bisa ngertiin gue. Lo terlalu sibuk sama diri lo sendiri, tau nggak?"
Aku menghela napas. Lalu menatap Zayn tajam.
"Gue bakal jujur ya sama lo. Gue suka sama lo Zayn. Dari lama. Tapi lo selalu nggak pernah ngerasa sedikitpun! Gue bener-bener pupus harapan. Apalagi pas Rachel dateng lagi. Dan kalian udah kayak couple. Hati gue sakit. Lo nggak pernah mikirin perasaan gue kan?"
Zayn menatapku kaget. Mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tak kunjung bersuara. Aku muak.
"Okelah. Mungkin kita emang cukup sampai disini. Anggep aja kita nggak pernah saling kenal. Tenang, gue juga nggak bakal ganggu lo sama Rachel kok. Lo bisa hidup
bahagia tanpa gue dan gue tau itu. "Aku tersenyum... manis.
Kakiku melangkah pergi. Sesak rasanya. Aku berharap sekali Zayn akan sekedar memanggilku atau berkata sesuatu atau bahkan menghalangiku pergi. Tapi... semua itu hanya harapan.
Ya, gue udah terlalu sering berharap.
Tak bisa kucegah, satu tetes air mata lolos dari pelupuk mataku.
Sesakit inikah ketika cintamu bertepuk sebelah tangan?
.....