BAB III. P U L A N G

61 5 2
                                    

Tengah asik merenung dan merencanakan langkah yang akan diambilnya besok, tiba-tiba handphonenya bergetar, ada SMS dari Alya.

'Gimana kabar lu? Sudah baikan?'

'Sip! Jangan khawatir, besok gue pulang, tolong kabari orang tua kita.' balas Aurel.

Alya tersenyum membacanya, tidak menduga kalau Aurel akan pulang secepat itu. Baru saja Alya ingin menyimpan handphonenya tiba-tiba benda persegi itu berdering. Rupanya panggilan dari Aurel, dengan dahi berkerut, karena heran, diterimanya panggilan itu

"Assalamu'alaikum," ucap Alya.

"Wa'alaikumussalam," jawab Aurel.

"Ada apa, kok tiba-tiba telpon gue? Bukannya tadi sudah SMS?" tanya Alya pula.

"Eng ... cuma mau bilang, maafin gue ya, Al!" kata Aurel terbata.

"Maaf ... maaf untuk apa? Minggat dari rumah?" tanya Alya lagi.

"Bukan ... mmm ... besok gue jelasin kalau sudah di rumah. Bye, Al! Assalamu'alaikum." pungkas Aurel.

"Bye, wa'alaikumussalam ...." jawab Alya, bingung. "Aneh banget tu anak!" pikir Alya pula.

Segera ia keluar dan memberi tahu kabar gembira itu pada 'orang tua' mereka. Kedua pasangan yang tengah gelisah itu sama-sama menghembuskan napas lega mendengar kabar yang disampaikan Alya. Nirmala dan Agus langsung pamit pulang, sementara Alya memilih tinggal dan menginap di kamar Aurel.

*****

Ba'da sholat subuh Aurel langsung berkemas, membersihkan sekeliling tenda, dan ketika matahari mulai bertahta di ufuk timur, ia berpamitan pada pengurus perkemahan dan beberapa orang yang baru dikenalnya kemarin.

"Tumben cuma nginap semalam, Dik Aurel?" ujar Zahra salah satu pengurus perkemahan, "biasanya paling sedikit dua hari baru cabut."

"Kebetulan ada urusan penting yang harus segera saya selesaikan, Mbak." jawab Aurel beralasan, sambil berlalu pergi, Zahra mengangguk maklum, tersenyum.

Gadis tujuh belas tahun itu memacu motornya dengan kecepatan sedang,  meski jalanan masih lengang karena bertepatan dengan hari minggu, ia enggan ambil resiko. Lebih baik lambat asal selamat daripada tergesa-gesa lalu celaka. Meski dalam hati ia ingin segera sampai di rumah, tidak sabar untuk menemui semua orang yang mengkhawatirkan dirinya sejak kemarin.

Ketika menjumpai 'pasar tumpah' ia singgah sebentar, membeli beberapa jajanan terutama donat coklat favoritnya juga serabi basah kegemaran 'mamanya', lalu melanjutkan perjalanan.

Dari jauh Aurel dapat melihat jelas pagar rumah yang menjadi tempatnya bernaung selama ini. Pagar setinggi pinggang orang dewasa, berwarna hijau lumut, warna kesukaannya, Papa yang mengecatnya sendiri sesuai permintaan sang putri yang waktu itu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Setitik air mata haru menetes di pipinya, Ia masih ingat ketika akan mengganti warna pagar yang semula coklat dan sudah terkupas di sana-sini, papa bertanya.

"Menurut Aurel ... bagusnya pagar rumah kita, pakai cat warna apa, sayang?"

"Gimana, kalau pakai warna favorit Aurel aja, Pa?" usulnya waktu itu.

"Hmm, hijau lumut ... ide bagus, tuh! Sepertinya belum ada tetangga yang pakai warna itu kan, ya?" ujar Haris menimpali. Aurel mengangguk mantap, Halimah tersenyum dari jauh melihat kekompakan mereka.

Aurel sudah di depan pagar, ia memandangi rumah, halaman dan sekelilingnya. Rasanya seperti sudah lama ia pergi, padahal sebenarnya baru kemarin ia tinggalkan.

"Hei! Itu kan motor Alya! Dia ada di sini rupanya, atau mungkin dia menginap di sini semalam." kata Aurel pada diri sendiri.

Bergegas ia membuka pagar dan juga pintu rumah dengan kunci cadangan yang ada padanya. Dulu sewaktu belum pegang kunci rumah, saat papa dan mamanya ada keperluan mendadak dan agak lama, Aurel pernah kehujanan lalu demam tinggi, Halimah dan Haris merasa sangat menyesal karenanya, setelah kejadian tersebut Haris segera menggandakan kunci pagar dan pintu utama, sehingga masing-masing mereka memiliki satu kunci duplikat.

DIARI HATI MAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang