ch.1 - The Dog

233 13 4
                                    

introoooooo itu disebelah gambar mas Finn yang ganteng itu loh hahaha

Finnian ----->

Dont be a silent reader guys, review dan vote kalian sangat berarti untukku, Happy reading :)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

                Hutan itu tampak hebat dengan ribuan pohon tinggi menjulang berlomba-lomba mencapai kaki langit. Berbagai tumbuhan tropis pun tampak menyemarakan hutan hebat tersebut. Disela-sela keagungan hutan tersebut terdengar suara riuh rendah para penghuni hutan. Mulai dari yang tingginya berpuluh-puluh meter hingga hanya beberapa meter saja, mereka semua seperti mengadakan lomba lari massal yang diikuti oleh semua penghuni hutan. Burung-burung berkoak ramai memeriahkan suasana perlombaan itu, para predator mengaum keras tak mengindahkan berbagai hewan yang biasanya akan membuat mata mereka kelaparan. Keagungan hutan sekarang seperti tertutup oleh kekacauan perlombaan lari ini. Mata para hewan itu tampak keakutan menatap langit yang sudah berubah senja walau sekarang terbilang masih pagi. Bintang-bintang hitam menghiasi pagi berlangit senja ini. Langit seperti mengadakan parade bintang jatuh walau mereka tak dapat mengabulkan satu permohonan pun dari para penghuni hutan.

                Di tengah hutan tersebut berdiri dengan megah sebuah gunung raksasa. Gunung itu tampak menjulang diantara ribuan pohon yang menghiasi hutan hebat tersebut. Ia adalah pusat dari hutan hebat itu. Gunung yang dahulu adalah sumber kehidupan para penghuni hutan, kini tampak berang. Asap sudah mengepul hebat mengeluarkan abu vulkanik dan berbagai material bumi yang dengan segera merasuk dalam sistem respirasi para penghuni hutan. Secara perlahan dari mulut kawah terlihat semburan merah yang semakin membesar dan mulai memuntahkan batu-batu api yang segera membakar hutan hebat itu. Lava merah menyala segera keluar dari mulut kawah menyelimuti gunung agung tersebut. Para penghuni hutan berlari semakin cepat dengan bahaya tepat dibelakang mereka. Kini lava sudah mulai turun mengikuti aliran sungai dibawah gunung agung tersebut. Lavanya yang panas sewarna dengan senja di langit pagi ini, dengan letupan-letupan kecil yang dalam beberapa detik segera menyapu bersih apapun yang mereka lewati. Keadaan bertambah semarak dengan hujan meteor dan...

                TING..TONG...

                “Finn, buka pintunya,” sebuah suara manusia memecah keadaan hutan tersebut.

                TING...TONG...

                “Ayolah Finn aku tahu kau sedang di dalam, cepat buka pintunya.”

                Dengan segala keengganan seorang pria blonde berdiri dari singasananya yang telah turun bebeapa centi karena terlalu lama ia duduki.

                “Ahh, lama sekali kau membukakan pintu.” Dari arah pintu segera masuk seorang pria dengan satu kantung belanjaan di tangan kiri, dan tangan kanannya yang entah memegang apa. Mungkin boneka dilihat dari bulu-bulu putih yang menyembul dari dalam jaketnya.

                Finn kembali duduk disinggasananya melanjutkan menonton “The Greatest Volcano” ditemani dengan segelas susu hangat dan beberapa nachos yang dibelinya dalam perjalanan pulang ke apartemen ini.

                “Kau belanja apa saja?” tanya Finn dengan mata masih terfokus pada adegan lahar panas di depannya.

                “Apa kau tidak lihat kulkas kita sudah kosong melompong seperti itu?” jawab Ray ketus.

                “Ditinggal beberapa hari saja sudah seperti ini, baagaimana nanti. Kuyakin kau hanya akan bertahan hidup dengan makanan seng itu.” Ray menatap tumpukan kaleng kosong bekas sarapan Finn tadi pagi.

                “Hahahaha, untuk itulah kau disini Ray.”

                “Aku lapar kau mau masak apa hari ini?”

                “Paprika bakar,” jawab Ray asal sambil terus mengeluarkan barang belanjaan satu persatu

                “Hei kau tahukan kalau aku tidak suka paprika,” Finn mengalihkan pandangan lahar panas tersebut ke pria yang masih sibuk mengeluarkan barang belanjaan dengan satu tangan itu.

                “Kan masih ada makanan sengmu, kau makan itu saja.”

                “Ohhhh, jangan begitulah Ray.” Ujar Finn dengan mimik sedikit memelas.

                GUK!!

Keheningan menyusup diantara partikel karpet merah yang tertumpah kopi beberapa waktu lalu dan juga diantara dua manusia yang sedang berdebat tadi. Mereka saling pandang, siapa salah satu dari mereka yang bisa mengeluarkan suara seperti itu.

GUK!!

Mata mereka saling bertemu sebuah tanda tanya jelas tergambar di retina mereka.

“Ray...,” Finn menguak kesunyian ini.

Ray mengalihkan pandangan sambil mempererat jaket kulit hitam tebalnya.

“Ray, apa yang kau sembunyikan?” tatapann Finn sedang menyelidik boneka putih yang ada dibalik jaket Ray.

“Tak ada!! Aku sudah selesai, aku akan menengok apakah kamarku masih utuh atau sudah porak poranda,” dengan cepat Ray berusaha lari ke kamarnya.

“Jangan bercanda Ray, lepaskan jaketmu!”

“Tidak,”

“Ayolah Ray apa yang kau lakukan dengan jaket kulit hitam tebal itu di musim panas seperti ini?” Finn sudah berhasil menghalangi jalan Ray menuju kamarnya.

“Dan kau sendiri, menonton “The Greatest Volcano” dengan susu dan nachos panas? Apakah itu tidak menentang musim panas namanya?” dalih Ray sambil terus berusaha melarikan diri.

“Musim panas disini kurang panas,” kini Finn mencoba memegang ujung jaket Ray, “hey, jangan pergi kau Ray.”

“Kurang panas bagaimana, dengan suhu 18° saja kita sudah kepanasan?” jawab Ray, “jangan tarik-tarik jaketku Finn.”

“Disini masih terlalu dingin mom bilang waktu dia honey moon ke Lombok cuacanya lebih panas dari disini, dan kulit dad langsung menghitam walau hanya berselancar dua jam saja.”

“Kalau begitu kau saja nanti yang kesana, sekarang lepaskan jaketku Finn!” tepat saat itu boneka dengan bulu-bulu putih menyembul dari balik jaket Ray.

GUK!!

“Prince??”

The CarpenterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang