[] Prolog

191 6 4
                                    

"Bintangnya banyak banget ya, Rel." Reina mengulurkan tangannya ke atas, menunjuk langit malam yang ditaburi ratusan bahkan ribuan bintang.

"Rel," ucapnya sambil mengguncang bahu laki-laki yang sedang menunduk di sebelahnya. Reina menggeram kesal saat laki-laki yang ia panggil namanya masih bergeming. "Karel! Kamu harus lihat, aku gak mau kamu nyesal karena gak lihat bintang di hari terakhir kita--"

"Apaan sih Rein, kamu berisik banget." Karel mendongakkan kepalanya melihat Reina yang sedang melotot ke arahnya.

Reina kesal karena tadi Karel memotong ucapannya juga mengatainya berisik. "Ish! Karel nyebelin! Aku gak berisik tau!" ucapnya lalu memalingkan pandangannya untuk melanjutkan aktivitasnya menatap bintang.

Bukannya merasa bersalah, Karel malah terkekeh melihat Reina yang sedang menatap bintang sambil cemberut. "Katanya bintangnya bagus, tapi kok kamu lihatnya sambil cemberut?"

Reina masih bergeming, kekesalannya makin bertambah ketika cowok itu meledeknya yang memang sedang cemberut.

Diamnya Reina menjadi awal mula keheningan yang terjadi diantara mereka. Mereka berdua diam dan tenggelam dalam lamunannya masing-masing, menciptakan malam yang tadinya hangat menjadi dingin. Reina masih sibuk menatap langit malam, menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya, membuat rambutnya yang tadi terkuncir rapi menjadi sedikit berantakan.

Karel juga masih sibuk menatap keindahan ciptaan Tuhan yang berada di depannya, bukan, ia tidak menatap langit malam, ia menatap Reina. Ia menikmati setiap helai rambut Reina yang lepas dari kuncirannya. Sekarang, Reina tampak ... manis.

"Kamu cantik, Rein," ucapnya tiba-tiba sambil menyelipkan rambut Reina ke belakang telinganya.

Reina masih bergeming, kali ini bukan karena kesal, melainkan karena tubuhnya tiba-tiba terasa kaku saat menerima perlakuan cowok itu. Pipinya memanas ketika mengetahui bahwa pandangan cowok itu belum lepas dari dirinya.

"Reina." Karel menarik dagu Reina lembut agar gadis itu melihat ke arah dirinya.

Jantung Reina seakan berhenti ketika matanya bertemu dengan mata teduh milik cowok itu, spontan ia menahan napasnya ketika menyadari bahwa jarak mereka kini sangatlah dekat. "Rel, kamu--"

"Aku cinta sama kamu, Rein."

Reina mati rasa. Gak, ini salah, Rel, batinnya. Reina merasa kalau mereka sudah melewati batas terlampau jauh, tidak seharusnya mereka begini, tidak seharusnya ia merasa senang mendengar pengakuan cowok itu, tidak seharusnya kupu-kupu berterbangan di perutnya saat melihat mata cowok itu yang menyiratkan perasaannya yang sangat dalam kepada dirinya. "Gak Rel, ini salah, kita salah."

Karel merasa tertohok, setelah apa yang ia lalui bersama cewek itu selama ini, dengan gampangnya cewek itu mengatakan kalau ini semua salah. "Apanya yang salah, Rein?" suaranya kali ini terasa sangat menyakitkan.

Air mata Reina sudah bergumul di pelupuk matanya, "Semuanya salah, Rel! Perasaan kamu ke aku, perasaan aku ke kamu, perjalanan yang kita lalui, bahkan sampai pertemuan kita juga salah Rel!" Reina meneteskan air matanya, ia terisak sambil mengingat semua kenangan mereka, juga saat mengingat pengakuan perasaan Karel tadi. "Kita gak bisa begini, Rel! Hubungan kita udah terlalu jauh, Rel, kita berdua--"

Ucapannya Reina terpotong ketika bibirnya dibungkam oleh bibir basah milik Karel. Hatinya mencelos saat tubuhnya yang bahkan tidak melakukan perlawanan apa pun saat di perlakukan begitu oleh Karel. Satu tetes air mata itu kembali jatuh saat mengingat impiannya dan juga perasaannya yang bertolak belakang.

"Gak! Kita salah, Rel!" ucapnya setelah berhasil mendorong tubuh cowok itu, "Sekarang, lebih baik kamu lupain perasaan kamu, karena aku gak cinta sama kamu!" Reina meninggalkan Karel yang saat ini menatap punggungnya dengan nanar.

--

Bride ExpectationWhere stories live. Discover now