Reina menatap pantulan cermin yang memantulkan bayangan tubuhnya dalam balutan gaun pengantin. Dengan senyum yang tak pernah pudar, ia sesekali memutar tubuhnya, merasakan sensasi menjadi putri sesaat.
"Bagaimana, apakah anda menyukai gaunnya?"
Reina menoleh ke arah suara itu berasal, seorang desainer baju terkenal yang merancang gaun yang ia kenakan sedang tersenyum ke arah dirinya. "Aku suka," ucapnya sambil memalingkan pandangannya kembali ke cermin, tidak ingin berlama-lama meninggalkan pantulan tubuhnya yang tampak seperti puteri kerajaan, "Sangat suka," lanjutnya sambil tersenyum sangat lebar.
"Gaun itu sangat cantik jika anda yang pakai, nona. Sayang sekali saya tidak dapat melihat mempelai lelakinya, bagaimana bisa ia tidak ikut menemani anda saat mencari pakaian untuk pernikahan kalian."
Senyum Reina seketika luntur, digantikan oleh raut wajahnya yang murung, meskipun sebenarnya ia setuju dengan apa yang dikatakan oleh desainer tadi, namun ia yakin pasti calon suaminya --Rangga-- punya alasannya sendiri. "Dia sangat sibuk. Apa lagi sekarang ia harus menyelesaikan proyek besarnya di Dubai, dia memang seorang pekerja keras, tapi ia berjanji kepada saya akan kembali dan menemani saya seminggu sebelum acara pernikahan kami."
"Saya minta maaf, nona, atas kelancangan saya menanyakan masalah pribadi anda." Desainer itu membungkuk meminta maaf, ia merasa bersalah sekali ketika melihat perubahan raut wajah Reina yang sangat dratis.
Reina tersenyum, lalu menggeleng. "Anda tidak perlu meminta maaf, tuan. Ini memang sudah menjadi takdir saya, tetapi, walaupun keadaannya seperti ini," Reina menarik nafasnya, memantapkan hatinya lalu tersenyum lebar sebelum melanjutkan perkataannya, "Saya akan tetap bahagia."
"Anda sangat bijak, nona." Desainer itu tersenyum, baru kali ini ia menemukan seorang mempelai wanita yang setangguh ini meskipun tanpa dampingan seorang mempelai lelaki.
"Terima kasih, tuan. Bisakah anda memanggilkan saya seseorang untuk membantu saya melepaskan gaun ini?"
"Tentu, nona."
--
Reina melangkahkan kakinya, menelusuri ruangan yang terdapat berbagai patung manekin yang memakain setelan jas --untuk mempelai pria-- di dalamnya.
Sesekali ia memotret beberapa setelan jas yang ia rasa bagus dan cocok dengan gaun yang tadi ia pakai, lalu mengirimkannya ke seseorang yang tak kunjung membalas pesannya.
Reina menatap ponselnya, lalu menghembuskan napas ketika tak ada satu pun balasan yang diberikan oleh calon suaminya itu. 'Pasti dia sangat sibuk. Kamu gak boleh egois, Rein.' batinnya.
Setelah merasa puas melihat-lihat koleksi setelan jas tersebut, juga merasakan pegal yang teramat sangat di kakinya, ia pun memutuskan untuk keluar dan mencari kafe terdekat untuk beristirahat. Ia sungguh lelah untuk hari ini, bukan perkara mudah untuk mencari cincin dan juga baju pengantin sendirian, maka ia pun menjatuhkan pilihannya pada kafe yang terletak di seberang toko baju pengantin itu.
Tring.
Ponselnya berbunyi, menandakan ada sebuah pesan masuk, tepat setelah ia memesan makanan dan duduk di salah satu kursi yang ada di kafe itu.
Senyumnya mengembang, akhirnya, pesan yang tak kunjung di balas tadi, di balas juga.Rangga: Semua setelan jas yang kamu kirim untuk ku sangat bagus, sayang. Aku bahkan sampai tidak bisa memilihnya, jadi tolong kamu pilihkan untuk ku, karena aku akan dengan senang hati memakai apa pun yang kamu pilihkan untuk ku. Dan gaun mu sangat cantik, sangat cocok untuk dirimu. Aku mencintaimu, Rein.
Reina tersenyum kecut, ia merasa calon suaminya itu pun bahkan tidak melihat foto yang ia kirim, makanya ia memintanya untuk memilihkan yang cocok untuknya, mengingat sifat suaminya yang sangat perfeksionis itu.
Reina: Baiklah. Aku mencintaimu juga, Ngga.
Ia meletakkan ponselnya begitu saja karena ia yakin calon suaminya itu tak akan membalas pesannya lagi, aku sibuk, begitu alasannya jika ia menanyakan mengapa calon suaminya itu jarang membalas pesannya. Susah memang menjadi calon istri seorang pebisnis muda, batinnya lagi.
Tring.
Notif pesan masuk itu membuat ponselnya bergetar. Reina mengerutkan keningnya, lalu menepis harapan yang muncul di kepalanya kalau calon suaminya membalas pesannya. Ia semakin bingung kala melihat nomor yang tidak ia kenal yang mengirimkan pesan untuknya.Nomor tidak dikenal: Halo? Bagaimana kabarmu? Kau sudah melupakan diri ku makanya kau tidak memberi tahu rencana pernikahanmu, ya? Jahat.
Reina: Maaf, tapi kau siapa?
Beberapa menit ia menunggu, ia tak kunjung mendapat balasan dari pengirim pesan tak dikenal itu, mungkin pesan iseng, pikirnya.
Namun, pikiran itu langsung ditepisnya ketika ponselnya tahu-tahu bergetar hebat, nomor tak dikenal itu meneleponnya."Halo?" Sapa Reina ragu saat ia mengangkat telepon itu.
--
Segini dulu ya, tunggu part lanjutannya besok, ya?
Jangan lupa vote dan comment-nya, ditunggu.
YOU ARE READING
Bride Expectation
Fiksi RemajaImpian Reina sejak ia kecil adalah menikah dengan seorang pangeran dan tinggal di istana yang megah. Meskipun banyak orang yang mengatakan bahwa hal itu hanyalah impian naif yang dimiliki oleh setiap gadis kecil yang usianya tak lebih dari sepuluh...