CHAPTER 2

57.9K 2.6K 80
                                    

Dari arah berlawanan, seorang laki-laki yang sangat Keiza kenali berjalan memakai kostum futsal Angkasa Jaya. Tak lupa, laki-laki itu memasang tampang tak pedulinya. Davian selalu begitu sejak saat itu. Memancarkan aura dingin yang mematikan untuk Keiza. Ia yakin Davian menyadari keberadaannya, tapi laki-laki itu tak ingin melihatnya.

Ia memandang punggung laki-laki itu sembari membaca nama yang tercetak di kostum futsalnya. Keiza menatap dengan pandangan terluka.

Davian, dengan nomor punggung dua puluh delapan. Entah Davian sengaja memilih angka tersebut di kostumnya atau ia memilih secara asal. Tapi Keiza tahu persis, pada hari itu, dua puluh delapan November, Davian menyatakan perasaannya pada Keiza.

"Keiza!". Rika memanggil dan Keiza refleks menoleh. Rika adalah sahabatnya sejak kecil. Rumah mereka pun berdekatan. Jadi hampir tidak ada rahasia di antara mereka.

"Lo ngeliatin apaan sih?!" Menyadari sesuatu, Rika langsung berkacak pinggang dan melihat Keiza dengan tatapan bosan. "Oh, Davian toh."

Keiza diam, tak bisa mengelak.

"Gue tau kok. Tapi lo nggak bisa kayak gini terus, Kei! Bosen gue ngeliatnya."

"Rika, ayo! Kita udah ditunggu sama Miss Daisy di lapangan, latihan cheers! Lo nggak lupa 'kan?" Suara cempreng Nabila dari ujung lorong kini menggema.

"Rik, gue mau ke ruang musik dulu ya. Lo mau latihan cheers juga kan?" Keiza menoleh dan tersenyum ke arah Rika, berusaha mengalihkan perhatian Rika.

Sedetik kemudian wajah Rika langsung cerah dan berseri-seri kembali. Ia mengangguk mantap. "Bentar lagi gue ada lomba nih, doain yaaaa!" ujarnya lalu berlari menuju lapangan luar. Rika memang anak yang ceria. Ia termasuk murid populer di sekolah. Temannya banyak, aktif di ekskul cheers, dan termasuk primadona. Dengan wajah blasteran Belanda yang cantik, Rika mampu membuat siapapun yang melihatnya terpesona.

Bau buku lama langsung menyeruak kala Keiza membuka pintu perpustakaan. Dingin ruangannya membuat Keiza ingin memeluk dirinya sendiri. Seperti biasa, ruang perpustakaan terasa sunyi karena semua pengunjung rata-rata sedang membaca ataupun mengerjakan tugas.

Yang pasti, semuanya dalam posisi menunduk.

Pun dengan laki-laki di ujung perpustakaan itu. Walau sedang menunduk, dahinya yang berkerut masih saja kelihatan dari jauh. Kentara sekali jika ia sedang mengerjakan tugas. Buktinya, sekarang ia sedang menulis sesuatu pada kertas di depannya.

Keiza tetap berdiam diri, melihatnya dari jauh. Keningnya yang berkerut ketika mengerjakan tugas sama sekali tak mengganggu Keiza. Malah membuat Keiza tersenyum secara tidak sadar.

Tiba tiba saja, laki-laki itu mendongak. Ia menatap Keiza dengan wajah tak pedulinya, lalu mengalihkan pandangannya lagi pada kertas di mejanya. Seakan tak mengenal sosok Keiza. Keiza menghembuskan napas berat, menundukkan kepala, lalu tersenyum sebisa mungkin untuk menetralkan mood­-nya.

Keiza sudah mempersiapkan diri. Ia sudah mengingatkan dirinya berkali-kali bahwa Davian kini mempunyai aura dingin yang mematikan untuknya.

Davian selalu begitu sejak saat itu, dan mungkin suatu saat, Keiza akan terbiasa.

Ruang musik tampak gelap dan dingin begitu Keiza membuka pintunya. Dengan meraba dinding, akhirnya Keiza berhasil menyalakan lampu.

Sebuah piano berwarna hitam terpampang di pojok ruangan. Ia menduduki kursi di depan piano, hendak memainkannya sebelum ia melihat sebuah kertas berwarna biru laut berada di atas tuts piano.

Lo cantik, semoga di lain waktu kita bisa berkenalan.

Ia menekan tuts piano dengan pelan, sama sekali tak peduli dengan surat itu. Mungkin orang iseng. Mungkin bukan untuknya.

Tiba tiba, terbesit keinginan dari dalam dirinya untuk mengalunkan musik Fur Elise. Ia menatap piano di depannya, dan segera memainkan tuts-tuts nya.

Dan menghentikan lagu itu di tengah jalan tanpa sadar.

"Kok berhenti?"

Keiza menoleh pada sumber suara. Seorang laki-laki menggunakan berwarna abu-abu berdiri di depan pintu. Keiza mengerutkan alisnya, "Lo siapa?"

Dia segera mendekat dan duduk di samping Keiza. Lalu melanjutkan Fur Elise yang dimainkan oleh Keiza tadi.

De ja vu.

"Gue Aji, Aji Syarif Alatas. Pindahan." Laki laki itu berkata sambil menekan tuts piano, melanjutkan bagian-bagian yang terputus oleh Keiza sampai selesai. Dan laki laki itu berhenti dengan sentuhan mantap.

Ia menoleh ke arah Aji, agak canggung. Namun sepertinya Aji tidak merasakannya. "Lo pasti Keiza 'kan?"

"I—Iya, tau dari mana?"

Aji terkekeh mendengar pertanyaan Keiza. Garis wajah Arab dan hidung mancung dengan iris mata berwarna cokelat muda itu tampak berkesinambungan saat ia tersenyum. Dasar, cowok aneh.

"Jadi, kenapa lo nggak ngelanjutin Fur Elise nya?"

Ia terdiam agak lama, sebelum Keiza menjawabnya dengan refleks; "Fur Elise bikin gue inget sama seseorang."

"Davian, ya?" Ia tersenyum, menyentuh nada do.

Ingatan Keiza melayang ke saat itu, ketika hubungannya dan Davian masih hangat.

Hari itu, hujan turun. Dengan terpaksa Keiza harus bertahan lebih lama di sekolah. Sebuah kunci sudah di tangannya. Kunci ruang musik. Keiza berniat untuk bermain-main di dalamnya sampai hujan reda.

Fur Elise begitu familiar di telinganya. Hampir setiap hari didengar, namun Keiza tak kunjung bosan. Ia terus saja menekan tuts piano dengan bahagia, hingga Keiza menyadari seseorang berdiri di ambang pintu mengenakan seragam lengkap dengan sweater berwarna hitam. Orang itu tersenyum.

"Eh, Dav? Lo belum pulang?" tanyanya sambil membalas senyuman Davian. Keiza menghentikan aktivitas sebelumnya, dan menatap Davian yang berjalan ke arahnya.

Davian duduk tepat di sebelah kirinya, dan melanjutkan Fur Elise yang tertinggal sebelumnya.

"Kalau gue ada di sini, nggak mungkin gue udah pulang." Laki laki itu menoleh ke arahnya, lalu tersenyum. "Hujannya udah reda. Pulang bareng gue, yuk?".

Hari itu, adalah hari bahagia.

Aji menoleh ke arah Keiza dan tersenyum tulus. "Apapun itu, gue ngerasa kalo lo suka sama Davian dan itu diperkuat dengan kejadian tadi," Aji menghela nafas panjang. "Gue ngeliat lo pas lo ngeliatin Davian dari jauh.

"Gue nggak terlalu ngerti sama hubungan kalian. Tapi sejauh yang gue tau, kalian lagi nggak berhubungan baik. Kalo lo suka sama dia, mending bilang aja kalo lo suka sama dia. Seenggaknya, itu bikin lo lega." Aji bertutur panjang lebar, sebelum akhirnya ia beranjak.

"Bye, Keiza."

Beberapa detik setelah Aji berdiri, Keiza menoleh ke arahnya, bertanya. "Sebenarnya, lo siapa?"

"Gue udah bilang, gue Aji."

Lalu ia meninggalkan Keiza sendirian.

Caramel MacchiatoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang