#Flashback on
Lima belas. Empat belas. Tiga belas. Sembari menghitung lima belas detik terakhir pembelajaran hari ini, mataku tak henti-hentinya menatap jam biru di pergelangan tanganku.
Tiga, dua, satu. Tepat ketika mulutku membentuk lafal 'satu', lagu Bendera Merah Putih karya Ibu Sud mengalun dengan khidmat. Ini hari Rabu, tentu saja lagu itu yang diputar.
Sekolahku memang sangat keras dalam menanamkan jiwa nasionalisme pada murid-muridnya. Bayangkan saja setiap pagi kami disuruh menyanyikan lagu Indonesia Raya karya WR. Supratman.
Aku bosan menyanyikan lagu yang sama setiap hari. Aku malas mendengar lagu, lirik dan nada yang sama setiap hari. Maka dari itu, aku sering terlambat masuk ke sekolah. Sengaja.
Setelah Bendera Merah Putih berhenti mengalun, Ibu Guru lemah gemulai pengajar Fisika itu menyuruh ketua kelas memimpin doa.
Tak lama kemudian, aku sudah berada didepan kelas. Menjalani ritual harian dalam menunggu jemputan. Duduk di kursi panjang sambil membaca novel. Kali ini novel terbaru penulis kesayanganku.
Baru mendapat dua halaman, seseorang menyapaku.
"Hai, itu novel Matahari karya Tere Liye? Boleh aku pinjam?" Tanyanya langsung menuju topik.
Kubaca bedge nama di dada kanannya. Fahri Raihan. Aku diam dan melanjutkan membaca. Aku tak mengenalnya, lalu untuk apa aku meminjaminya?
"Rara Tessa Kumalasari." Dengan nada menyenangkan dia membaca bedge namaku.
"Perkenalkan namaku Kemal." Kemal? Lalu apa maksud bedge namanya? Salah pasang? Pikirku bingung.
"Fahri Raihan Kemal Alingga. Itu nama panjangku. Bedge sialan ini memang menyebalkan." Jelasnya seperti bisa membaca kebingunganku.
"Lalu siapa namamu?"
"Rara." Jawabku pendek. Masih tak acuh.
"Baik. Kuulangi lagi. Rara, bolehkah aku meminjam novelmu itu? Kelasku berada di samping kelasmu. Jadi gampang bagiku untuk mengembalikannya padamu."
"Oke. Baiklah. Tapi setelah aku selesai membacanya."
"Terimakasih. Kau sangat baik... Dan cantik" katanya sambil meninggalkanku.
Aneh. Tak biasanya aku meminjamkan novelku untuk orang lain. Dan apa katanya tadi? Cantik? Hah! Pandai dia merayuku. Tapi sayang, tak mempan.
Tapi jarang kan, ada pria suka membaca novel. Itulah yang membuatku penasaran dengannya sehingga membuatku meminjamkan novelku.
***
Malamnya, aku sibuk membayangkan sosoknya tadi. Tinggi, tak terlalu putih memang, tapi hidungnya mancung. Serta bagian yang paling kusuka mata bulat besar cokelatnya. Mata yang indah. Bagaimana selama 1,5 tahun sekolah disini aku tak pernah melihatnya?
Sebentar, apakah aku baru saja aku memikirkannya? Mungkinkah aku jatuh cinta padanya? Tapi sudah sejak lama itu terakhir kali terjadi. Kelas 5 SD, aku jatuh cinta pada seseorang. Cinta monyet yang kian lama kian memudar, lalu hilang.
"Raaa... Turun kau! Berhenti di dalam kamar terus! Biarkan wajahmu menghirup udara segar agar jerawatnya tak bertambah lagi." Teriak kakakku yang sangat "tampan".
"Diam kau rambut kribo!" Jeritku sebal.
Aku bergeming. Malas keluar. Namun, beberapa menit kemudian satu suara kembali membelah langit kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beautiful Fault
Teen FictionApa yg akan kau lakukan jika orang yang kau sukai menyukai sahabatmu sendiri? Mengikhlaskannya sambil berteriak kau tak apa? Lari lalu bersembunyi di balik hujan agar tangismu tak ketahuan? Atau.. Hmm.. Hal yg satu ini fatal sekali jika kau pilih se...