Anak Perempuan di Puncak Tangga

48 4 4
                                    

Aku bertemu dengan anak perempuan itu di hari keduaku tinggal di apartemenku yang baru.

Apartemen itu tidak bisa disebut mewah, apalagi cantik. Gedungnya sudah tua, banyak retakan di dinding karena dimakan usia. Tangga kayunya pun sudah reyot hingga aku selalu menaikinya perlahan-lahan karena kuatir anak tangganya tiba-tiba hancur dan mencelakaiku. Apartemen itu kusewa karena harganya yang sangat murah. Orangtuaku bukan orang kaya, mereka hanya sanggup membiayai kuliahku.

Aku baru pulang dari pekerjaan paruh waktuku di sebuah perpustakaan kecil di dekat kampus. Aku kelelahan dan tak sabar ingin segera berbaring di atas tempat tidur yang nyaman. Ketika aku sedang menaiki tangga menuju ke kamarku, aku melihatnya. Anak perempuan itu duduk di puncak tangga, di depan pintu apartemen yang berhadapan dengan pintu apartemenku.

Rambutnya hitam, panjang hingga menyentuh pantatnya. Anak perempuan itu mengenakan baju terusan warna merah muda yang kumal, kakinya telanjang, kedua tangannya memeluk sepasang lututnya yang tertekuk. Awalnya, aku tak menyadari anak perempuan itu ada. Ia duduk tersembunyi dalam bayangan yang gelap. Lalu saat aku sedang membuka kunci pintu apartemenku, aku mendengar suara isak tangisnya, membuatku terlonjak karena kejutan yang tak disangka-sangka.

Jantungku berdebar kencang. Cepat-cepat kubuka pintu apartemenku dan masuk mencari perlindungan. Sungguh, aku benci sekali film-film horor yang telah membuat ketakutanku menjadi dua kali lipat lebih besar. Padahal belum tentu anak perempuan tadi hantu. Lagipula, dia mengenakan terusan merah muda, bukan putih seperti kebanyakan hantu yang muncul di dalam film. Rambutnya pun terlihat halus dan berkilau meski di dalam kegelapan, tidak kusut tak terurus.

Kuatur napasku, perlahan kudekati pintu apartemenku—membukanya. Aku mengintip dari balik pintu. Anak perempuan itu sudah tak ada di sana. Tanpa sadar aku menghembuskan napas lega. Barangkali memang itulah yang kuinginkan. Anak perempuan itu menghilang.

Malam itu, aku bermimpi buruk. Jenis mimpi yang terlupakan saat terbangun namun menyisakan debaran kencang di dada.

*

Anak perempuan itu muncul lagi di puncak tangga. Masih dengan baju terusan merah muda yang sama. Hari ini anak perempuan itu terlihat lebih kumal dari kemarin. Aku bisa melihat ada memar kebiruan pada salah satu lengan kurusnya, dan betapa kotor kedua kakinya yang telanjang itu. Anak perempuan itu terisak—sama seperti kemarin. Membuatku merasa kasihan. Kuperkirakan usia anak perempuan itu sekitar tujuh atau delapan tahun.

Aku menelan ludah. Dalam kepalaku timbul banyak dugaan-dugaan tentang apa yang terjadi pada anak perempuan itu. Kekerasan dalam rumah tangga, salah satu dugaan yang terngiang paling keras. Anehnya, tak ada suara apa pun terdengar dari balik pintu apartemen yang kuduga adalah rumah anak perempuan itu. Tak pernah ada suara... apalagi teriakan, seingatku. Pintu itu bahkan tak pernah kulihat terbuka. Aku tak pernah bertemu dengan tetanggaku setelah tiga hari kepindahanku—selain anak perempuan yang menangis di hadapanku itu.

"Adik... kenapa menangis?" tanyaku akhirnya setelah memberanikan diri.

Anak perempuan itu tak menjawab. Tapi aku bisa melihat guncangan di bahunya semakin kencang. Kuletakkan tasku di lantai dan aku berjongkok di depan anak perempuan itu. Tak jelas apakah aku terdorong oleh rasa penasaran atau tak tahan melihat anak perempuan itu menangis terus-terusan.

"Dik, kau tak apa-apa?" Sekali lagi aku bertanya. Kali ini dengan suara yang lebih lembut. "Papa dan mama ada di rumah?"

Anak perempuan itu kini berhenti terisak. Kuperhatikan pelan-pelan kepalanya bergerak, lalu mendongak menatapku. Aku tersentak kaget.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 26, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AnthologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang