Dear Dad, you're may be not the best man in the world. But you should to know that you are always be the best man in my life. I love you, Dad.***
Dunia ini penuh kebohongan. Aku tertawa pongah. Hei, bagaimana mungkin seseorang dikabarkan meninggal sementara aku baru saja tertawa dan bercanda dengannya beberapa jam yang lalu. Ingat, beberapa jam yang lalu. Bahkan aku masih mengingat jelas bagaimana wajah yang mulai keriput itu tertawa dan membuat kerutan di wajahnya semakin terlihat. Aku juga masih ingat bagaimana suara menggelegar yang menyeramkan itu berubah menjadi tawa renyah penuh bahagia.
Aghni memegang pundakku, menanyakan apa yang membuatku berteriak 'apa' sedemikian nyaring. Untung saja kantin siang ini tidak begitu ramai. Namun beberapa pasang mata itu tetap saja menatapku heran.
"Ada apa?" Tanyanya heran.
Aku hampir saja menjatuhkan handphoneku kalau Aghni tidak bersuara. Aku mencoba tersenyum, "tidak ada apa-apa. Oh ya, aku titip absen ya. Aku ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggal. Aku pergi dulu," ujarku sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan Aghni.
Aghni menatap kepergianku dengan penuh tanya, namun aku mengabaikannya.
***
Bendera hijau itu telah terpasang tepat di depan rumah. Suara tangispun ikut tertangkap oleh telingaku. Aku melangkah gontai sampai seseorang merangkulku. Dia Nazma, saudari kembarku. Aku menoleh ke arahnya, kemudian menjatuhkan tubuhku di pelukannya. Tangisku pecah saat itu juga. Nazma hanya membelai punggungku lembut. Saat ini, hanya dia yang paling tau rasa sakitku, paling tau rasa sedihku.
Aku dan Nazma merupakan kembar identik. Namun, entah apa yang salah pada kami saat kecil, kami harus terpisah. Kata Ibu, aku sering sakit saat balita. Dan ajaibnya, ketika aku dibawa budhe pindah ke Bandung, aku tidak pernah sakit lagi. Baru saat kuliah aku kembali ke Jakarta dan tinggal bersama kedua orangtuaku dan Nazma.
"Ayah, kak," gumamku lirih. Airmataku sudah membasahi sebagian jilbab Nazma.
"Ikhlaskan Ayah, Naura. Jangan tangisi Ayah lagi. Ingat, semua yang di dunia ini milik Allah dan pasti akan kembali pada Allah. Ikhlas, Naura," ujar Nazma masih memelukku.
Aku ingat, aku tau itu. Tapi bagaimana bisa? Aku baru tiga tahun tinggal bersama Ayah. Dan kini, Ayah harus pergi. Mendadak, tiba-tiba. Apa salah hamba ya Allah.
"Ayah kecelakaan saat pulang mengantarmu dari kampus. Menurut saksi mata yang berada di lokasi kejadian, Ayah ditabrak oleh truk besar cukup kuat. Kondisi Ayah cukup parah dan mengenaskan. Sayangnya, tak ada orang yang berani menyelamatkan Ayah karena takut terlibat di kepolisian." Jelas Nazma.
Cukup. Aku tidak sanggup lagi mendengarkannya. Otakku seperti dipaksa membayangkan bagaimana kejadian kecelakaan yang menimpa Ayah. Dan seketika semua menjadi gelap.
***
Aku terbangun karena menghirup aroma minyak angin. Kepalaku pusing dan berat. Tapi suara mengaji di luar membuatku memaksakan diri untuk ikut tahlilan.
Ya Allah, anak macam apa hamba? Tidak menyolatkan jenazah Ayahnya, tidak pula mengantarnya ke persinggahan terakhir. Ampuni hamba ya Allah.
"Jangan keluar jika kondisimu belum pulih," Nazma mengingatkanku.
"Aku sudah baikan, Nazma. Tenanglah. Aku harus keluar," sahutku.
"Kalau kamu ingin ikut tahlilan, kamu bisa disini sendirian. Jangan terlalu memaksakan diri. Ayahpun pasti akan sedih jika melihat keadaanmu yang seperti ini," ujar Nazma lagi.
Aku menghela nafas pasrah. Akupun menuruti Nazma dan membaca yaasin di kamarku saja.
Sepeninggal Nazma, pikiranku menerawang ke kejadian beberapa tahun silam, saat aku pulang dari rumah budhe. Ayah selalu memperlakukanku dengan sangat istimewa. Seolah akulah anak satu-satunya yang Ayah miliki. Tak jarang aku bertengkar dengan Nazma karena ia iri padaku.
Pada saat aku tamat SD, Ayah memintaku untuk melanjutkan sekolah di Jakarta. Awalnya aku setuju, akupun kembali tinggal bersama Ayah, Ibu dan Nazma. Namun seperti ada yang salah pada diriku dan Nazma, aku kembali sakit-sakitan. Dan yang paling membuatku kesal, akulah yang selalu sakit dan Nazma selalu sehat. Sepertinya aura api Nazma mampu membuat aura bungaku layu. Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan SMP di Bandung.
Baru pada saat kuliah aku tinggal di Jakarta. Nazma lebih dulu menemukan jodohnya, ia dipersunting oleh Rizky setelah beberapa bulan tamat SMA. Aku bahagia dengan pernikahan saudari kembarku itu. Bahkan aku sempat membayangkan bagaimana rasanya jika aku yang duduk di pelaminan itu. Pasti bahagia sekali rasanya.
Tak lama pintu kamar terbuka, nampak Ilham disana. Dia adalah sepupuku yang paling besar. Namun umur kami hanya berjarak satu tahun. Ibunya dan Ibuku adalah saudara kembar seperti aku dan Nazma. Tidak seperti aku yang kembar dengan Nazma, Ilham merupakan anak tunggal.
Ilham menatapku dengan prihatin. Oh Ilham, buang tatapan itu, ku mohon. Tatapanmu hanya membuat hatiku semakin teriris. Ilham duduk di samping kasurku dan membelai kepalaku.
"Yang tabah ya, Ra," ujar Ilham.
Aku hanya menjawabnya dengan anggukan. Aku sedang malas berbicara. Baik hati maupun pikiranku sama kacaunya saat ini. Aku benar-benar ingin sendiri. Dan seolah mengerti, Ilham pun beranjak dan pergi meninggalkan aku sendiri.
Sepeninggal Ilham, aku mengambil sebuah foto berbingkai kayu coklat di atas nakas. Itu adalah foto keluarga kami. Hanya ada aku, Ayah, Ibu, dan Nazma. Kami hanya dua bersaudara. Ibu pernah mengandung saat kami berusia 10 tahun. Namun entah mengapa Ibu mengalami keguguran di usia kandungan delapan bulan. Dan semenjak itu, Ibu tidak akan pernah bisa mengandung lagi. Jadilah kami hanya dua bersaudara.
Satu-satunya penyesalan terbesarku adalah masalaluku yang tidak bisa dikatakan baik. Selama tinggal di Bandung, pergaulanku termasuk bebas. Budhe tidak pernah melarangku pulang malam selagi itu tidak lewat dari jam dua belas tengah malam. Beda dengan Ayah yang selalu membatasi jam malam sampai jam sepuluh malam.
Di Bandung, aku juga terkenal PlayGirl, badung dan nakal. Dalam sebulan, aku bisa hampir tiga kali berganti pasangan. Aku memang tidak menganut free sex, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak ada pacaran yang tidak saling cium, saling sentuh dan saling raba. Dan aku pernah melakukannya bersama beberapa kekasihku dulu.
Aku juga tak segan mengenakan pakaian minim yang memamerkan paha putih mulusku serta bagian atas dadaku.
Ya Allah, mengingatnya saja sudah membuatku mual. Aku benar-benar anak yang durhaka. Aku tanpa sadar telah menjerumuskan Ayahku sendiri ke neraka. Aku tak henti-hentinya mendoakan Ayah. Meminta pada Allah agar memasukkannya ke dalam surga. Menempatkannya di tempat terbaik. Aku sempat berpikir, apa hijrahku sudah mampu membawa Ayah ke surga? Ya Allah, ampuni aku yang khilaf, yang telah lalai karena kenikmatan duniawi.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Atas Sajadah Cinta
SpiritualKehilangan sosok orangtua memang menyakitkan bagi siapapun, termasuk Naura. Di saat ia masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah, saat itu pulalah sang Ayah pergi dan tidak akan kembali. Kemudian Hisyam datang membawa luka serupa. Tak ingin membua...