Gone [Bahasa Indonesia]

226 28 26
                                    

Avril Lavigne - When You're Gone

Aku terbangun oleh sinar matahari yang menusuk mataku. Rasa dingin seketika menjalari sekujur tubuh terutama wajahku. Aku tertidur di lantai, ya. Ku angkat kepala yang terasa sangat berat ini sedikit demi sedikit, lalu aku duduk dengan menyandarkan kepala pada sisi ranjang.

Rasanya kemarin masih ada seseorang yang dapat ku peluk di pagi hari saat kedinginan. Tapi tidak lagi. Entah sudah berapa lama.

Kepalaku memutar kembali kejadian malam itu yang membuat kamar ini lebih tampak seperti reruntuhan dan tak layak tinggal. Pintu lemari terbuka lebar, batang rokok dan botol-botol alkohol berserakan, juga pecahan kaca dimana-mana.

"Kau ini kekanak-kanakkan Em!" teriakku pada Emma. "Kau tahu pasti bahwa July hanya temanku, dan kemarin dia bercerita tentang masalah dengan kekasihnya, seperti biasa!" dia memicingkan mata hazelnya padaku.

"Teman tak akan pernah meminta sebuah ciuman setelah melakukan pelukan persahabatan!" dia menekan kata-kata terakhirnya dengan dramatis.

"Kupikir kita telah selesai dengan masalah itu!"

"Aku bisa saja tak peduli dengan persahabatan kalian, tapi aku bisa melihat ada maksud lain dibalik apa yang dia lakukan!" kini matanya mulai menunjukkan semburat merah, pertanda dia akan segera menangis. Aku benci tangisan.

"Aku tak mengerti," rahangku terkatup rapat.

"Aku wanita Calum, aku dapat merasakan hal lain dalam caranya menatapmu. Semua yang dia lakukan itu hanya tipuan. July ingin menyingkirkanku lalu mendapatkanmu!" air matanya tumpah seketika, dan terus mengalir tak terkendali. Aku menjambak rambutku dengan frustrasi, Emma telah termakan gosip-gosip yang beredar.

"Kau hanya mengada-ada Em."

Aku bangkit lalu berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Ku tatap refleksi diriku yang tampak seperti zombie di cermin. Kulitku pucat, tanganku gemetar dan aku sudah mulai terbiasa dengan lingkaran hitam dibawah kedua mata ini.

Ku basuh wajah dengan air dingin yang mengalir dari keran. Bahkan semua indra perasaku mati akibat ke-beku-an yang di alami hati ini. Mungkin sekarang tak ada lagi yang hidup didalam diriku, raga ini hanyalah wadah kosong yang menunggu gilirannya untuk di buang, bukan diisi kembali.

Aku kembali ke kamar, melihat keadaan disana hanya membuat rasa amarah dan hampa yang telah lama bersarang dalam diriku kembali ke permukaan. Namun kini aku dapat menekannya dengan mudah, entah kenapa, mungkin karena tubuhku sudah terlalu lelah.

Aku berjalan masuk dan menatap lurus ke sebuah benda yang selama ini tergeletak tak berdaya di atas lantai, tak menghiraukan beling-beling yang di injak oleh kaki telanjangku. Sudah ku bilang, semua indra perasaku telah mati.

"Apa yang kau lakukan?!" bentakku saat Emma mengeluarkan semua pakaiannya dari dalam lemari lalu melemparnya dengan asal ke kopor.

"Kau pernah bilang bahwa kau akan lebih memilih persahabatan di banding cinta. Tapi aku tak akan membuatmu memilih, karena aku bukan pilihan." ucapnya dengan suara tercekat, dan air mata yang masih bercucuran.

"Emma hentikan semua ini!" amarahku telah sampai di puncaknya, dan mungkin beberapa saat lagi akan meledak.

Emma tak mendengarkanku dan terus memasukkan baju-bajunya ke dalam kopor besar itu. Aku menarik tangannya tapi dia menepisku. Sepertinya Emma sangat tahu aku benci suara orang menangis, karena meskipun air mata terus mengalir, mulutnya tetap terkatup rapat.

Setelah dia pikir tak ada lagi pakaiannya didalam lemari, Emma langsung berdiri dan bergegas keluar.

"Emma!" panggilku seraya menyusulnya. "Berhenti bersikap seperti remaja labil yang baru merasakan jatuh cinta!"

Gone [cth]Where stories live. Discover now