bagian 2

198 7 0
                                    

Hari minggu telah tiba. Kami memanfaatkan hari libur ini untuk beberes rumah. Rumah ini cukup besar, memilik 10 ruangan. Di lantai atas ada 2 kamar dengan 1 toilet. Dan di lantai bawah ada 3 kamar, 1 toilet, ruang tamu, ruang santai, dan dapur. Kamarku yang paling depan, dekat dengan ruang tamu. Kamar Ibu berada di tengah, satu tembok denganku, dekat dengan tangga dan ruang santai. Sedangkan kamar Adam berada di bagian paling belakang, dekat dapur.

Kami tidak menempati kamar atas lantaran merasa lebih nyaman di bawah. Kamar atas bisa di jadikan kamar tamu. Sewaktu-waktu ada kerabat atau teman yang mau menginap. Saat itu Adam sedang mencuci motor di samping rumah. Ibu sibuk membersihkan dalam rumah. Sedangkan aku sedang menjemur pakaian di halaman belakang, dekat dengan sumur tua. Aku mencuci semua baju ibu dan Adam. Lelah itu pasti, dua hari tidak di cuci. Aku sempat berfikir untuk menyewa pembantu rumah saja. Tapi ibu tidak menyetujui hal itu karna ia masih bisa mengurus semua itu sendiri. Tapi aku juga tak tega meningali ibu sendirian disini saat aku dan Adam tidak di rumah. Ya sudah mau bagaimana lagi jika memang itu maunya. Pasti kalau saat nanti dia kecapekan atau takut sendirian, dia akan mempertanyakan lagi tawaranku. Rumah ini cukup besar. Satu hari saja tidak bisa membersihkan seluruhnya. Terkecuali pada hari libur, kita gotongroyong bersama. Sambil melepaslan lelah, aku bernyanyi lagu Jawa dengan suara dan cengkok yang merdu. Tiba-tiba aku merasakan tiupan kecil di bagian kanan teringaku. Aku menepis angin itu menggunakan telapak tangan. Telingaku terasa geli oleh tiupan itu. Setelah menghilang. Tiupan itu datang kembali di telinga sebelah kiri. 3 kali tiupan, tiba-tiba aku merasakan kantuk yang sangat berat. Tubuhku lunglay dan terjatuh, hingga saat itu aku tidak sadarkan diri.

Aku terbangun di ranjang kamarku. Tubuhku masih lemas dan suhu tubuhku dingin. Aku menarik selimut, dan menutupi seluruh tubuh. Namun badanku masih dingin seperti di selimuti bongkahan es. Ibu masuk kamar, lalu mengampiriku. Telapak tanganya menyentuh dahiku. Tangannya langsung di lepas saat menyentuh kuliku.

"Masyaalloh, Elis. Badanmu dingin sekali. Ibu ambilkan air panas dulu yah."

Aku hanya bisa mengangguk. Saat ibu keluar, Adam masuk. Dia dudu di kursi sebelah ranjangku yang tadi ditempati ibu. Dia melakukan hal yang sama seperti ibu, dan sama kaget pula menyentuh kulitku.

"Kak, kok dingin banget?"

Adam mengambil selimut di lemariku. Dia menyelimutiku dengan 3 kalin tebal. Rasanya sudah cukup hangat sekarang.

"Gimana, kak? Udah mendingan?" tanya Adam.

"Mendingan, dek." jawabku serak.

Ibu datang membawa baskom berisi air hangat. Dia meletakan kalin yang sudah di basahi air hangat tadi ke dahiku. Adam memijati kakiku. Rasanya sudah mulai enakan.

"Bu, dek. Ada apa sebenarnya?" aku mulai berbicara saat tenagaku sudah pulih.

"Tadi saat aku hendak mengambil air. Aku lihat kaka tiduran di tanah. Aku panik, lalu mengendong kaka ke dalam. Ada apa, kak? Kenapa kaka bisa pinsan?" ujar Adam.

"Kaka juga gak tau kenapa, dek." jawabku.

"Dari kemarin malem ibu memang sudah melihat wajahmu agak pucat. Duk, kalo gak enak badan mbok ya bilang toh. Jadi gak usah ikut bersih-bersih. Ahirnya gini, kan?" ibu mengusap sayang kepalaku.

Malam itu aku tidur di temani ibu. Ranjangku cukup untuk dua orang. Tapi tubuhku masih saja menggigil. Rasanya dingin sekali. Padahal tidak ada fentilasi udara dari luar yang masuk. Karna fentilasinya ada di sebelah kanan tembok, penghubung ruang tamu. Ibu pun tambah hawatir dengan keadaanku. Dia mengganti kompresku sepanjang malam. Pagi harinya, suhu tubuhku belum juga turun. Malah lebih dingin dari sebelumnya. Sampai aku meneteskan air mata karana tak kuat dengan dinginnya. Aku izin pada bosku untuk tidak masuk hari ini. Bosku ikut mendoakan kesembuhanku. Aku dan ibu di antar pak Rahman, supir angkot, menujuh rumah sakit. Adam masih melakukan aktifitas sekolahnya. Walau pun dia ngotot menemaniku dan mengambil libur. Tapi aku tidak mengizinkanya. Ahirnya dia menurut.

Kata dokter, sakitku hanya demam biasa. Tapi mustahil bisa separah ini. Dokter pun heran dengan keluahan yang aku derita. Dia sudah berulang kali memeriksaku, namun hasilnya sama. Tidak ada masalah pada setiap organ tubuhku. Ahirnya aku dan ibu pulang membawa obat yang di beri dokter. Sampainya di rumah. Tubuhku semakin dingin, dan hampir saja aku pinsan. Pak Rahman tidak langsung pulang, lantaran merasa kasihan padaku dan ibu yang hanya wanita sendirian disini. Ahirnya pak Rahman disini menunggu kepulangan Adam. Saat Adam pulang, pak Rahman pun pamit pulang. Adam sangat hawatir akan keadaanku.

Dia mendesakku untuk berobat kedokter lain. Tapi aku menolak, dengan alasan bisa sembuh dengan bantuan obat yang diberi. Di sore hari ibu dan Adam tetap di dalam rumah. Aku sampai tidak enak hati merepotkan mereka. Teman Adam yang bernama Bayu, datang menjengukku. Bayu tingal di perkampungan sekitar sini, rumahnya dekat musolah. Keluarga kami dan Bayu sudah sama-sama akrab. Bayu anak pertama dari ke3 saudara. Dia punya adik perempuan sepantaran Adam, yang bernama Sisi. Dan yang paling terahir adik laki-lakinya yang bernama Anton. Usia Bayu lebih tua 2 tahun dariku, yaitu 25. Anaknya tampan dan berbadan tinggi. Dia selalu menyapaku, saat aku duduk di teras menyaksikan dirinya bermain bola bersama teman-temannya yang jauh lebih muda. Bayu menemaniku di kamar dengan Adam. Sedangkan ibu memasak di dapur.

"Bagaimana neng Elis. Sudah agak mendingan?" tanya Bayu saat ia mengambil tempat duduk di sebelah Adam.

"Sudah agak mending mas Bayu," jawabku dengan suara yang masih serak.

"Lain kali neng Elis hati-hati yah. Rumah ini kan angker loh," tiba-tiba Bayu berbicara lepas yang membuat aku dan Adam terkesima.

"Eh maaf, ya ampun. Mulutku emang suka kelepasan bicara. Maksudku rumah ini kan dekat dengan sawah, kebun, dan bayak pohon-pohon. Jadi lain kali hati-hati." lanjut Bayu.

Aku dan Adam saling memandang. Aku yakin Adam sependapat dengan pemikiranku walau pun kita tidak langsung berkomunikasi lewat suara, lebih tepatnya batih kita. Saat Bayu pamit pulang, aku pun bisa lebih leluasa mengobrol berdua dengan Adam.

"Kau percaya apa yang di kata Bayu tadi?" tanyaku angkat bicara.

"Entah lah. Aku gak percaya sama yang gituan. Tapi ada benarnya juga sih katanya."

"Terus gimana. Dek, aku gak kuat sama dinginnya badan ini."

"Nanti aku usahakan yah kak. Tapi kaka jangan bilang ibu dulu. Kasihan dia nanti."

"Ya sudah. Kamu solat dulu gih sana. Kasihan anak-anak nanti gak bisa ngaji tampa kamu. Eh, tapi kamu berani kan sendirian? Masalahnya  aku mau solat di rumah saja. Kalau ibu masih menaniku."

"Ya elah, kak. Takut sama siapa coba? Setan! Udah lah. Aku ini kan cowok, masa takut. Kalo takut gimana nanti bisa jadi pelindung kalian. Ya sudah aku berangkat dulu. Assalamulaiqum."

"Walaiqumsallam."

Aku dan ibu melaksanakan solat mahrib dan Isya bersama di kamarku. Saat aku merebahkan diri ke ranjang. Aku melihat wajah yang menyeramkan sedang melihatku di atas ranjang. Badannya tingi besar dan wajah yang mengelupas kulitnya serta darah di semua tubuhnya. Matanya merah menyala. Sungguh menakutkan. Aku pun berteriak histeris dan berlari menghindari mahluk menyeramkan itu. Tapi setiap aku menghindar dia terus saja mengikutiku.

Menempati Rumah HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang