Selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan sebuah daster rumahan, Nada segera bergegas menuju ruang makan. Anggota keluarganya kecuali Fandy sudah berkumpul di sana menunggu Nada.
Aturan di meja makan mengenai anggota keluarga harus berkumpul semua sebelum makan, masih berlaku di keluarga Nada. Peraturan tersebut yang seringkali membuat Fauzan kesal pada adiknya, yang suka berlama-lama di kamar, sedangkan Fauzan sendiri termasuk laki-laki yang sulit menahan lapar. Apalagi jika berhadapan dengan masakan ibunya yang paling juara di lidah Fauzan.
"Lama." Kembali Fauzan melayangkan protesnya. Walau dengan nada pelan karena takut didengar ayah mereka.
Mereka makan dalam hening. Hanya suara dentingan sendok beradu dengan piring yang terdengar. Suasana seperti itu terasa ganjil bagi Nada. Vira yang biasa banyak bicara juga mendadak kalem menurut Nada. Entahlah, Nada merasa akan ada sesuatu yang terjadi.
"Nada ke kamar duluan ya, Yah," pamit Nada pada Ayah.
"Sebentar, Nak. Ada yang mau Ayah bicarakan sama kamu."
Nada mengangguk kecil lalu kembali duduk di kursinya. Sella pamit dengan alasan mau menidurkan putrinya. Alyssa pun sama, mengatakan ingin membantu Vira mengerjakan tugas sekolah putrinya tersebut. Maka tinggal Nada, Fauzan dan kedua orang tua mereka yang saling terdiam selama beberapa saat.
"Ada apa, Yah?" Tak tahan dengan situasi hening tersebut, Nada buka suara.
"Kita ngobrol sambil nonton aja, yuk," ajak Bunda yang merasa meja makan bukan tempat yang pantas untuk membicarakan masalah penting yang akan mereka bahas dengan putrinya.
Mereka pindah ke ruang keluarga yang biasa digunakan sebagai tempat menonton acara televisi bersama.
"Kemarin Ayah bertemu salah satu teman lama kami di Australia. Beliau pernah jadi rekan bisnis Ayah dan kebetulan istrinya merupakan teman Bunda kalian saat kuliah dulu," jelas Ayah.
"Tante Marta temannya Bunda itu cerita kalau mereka punya dua orang anak." Bunda ikut nimbrung. "Anaknya yang ke-dua, perempuan sudah menikah sekitar dua tahun yang lalu. Sedangkan anaknya yang sulung masih single," kata Bunda.
Mendengar kata single, Nada mulai mengerti ke mana arah pembicaraan orang tuanya ini.
"Dan kami berencana untuk menjodohkan kamu dengan putra mereka," sambung Ayah.
Nada tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia sudah bisa menebak maksud orang tuanya, namun tetap saja ia merasa sedikit terkejut mendengarnya.
"Bagaimana pendapat kamu, Nada?" tanya Bunda hati-hati.
"Nada nggak tahu harus bilang apa, Bun," akunya. "Nada nggak nyangka aja kalau Ayah sama Bunda sampe kepikiran mau menjodohkan Nada. Jujur, Nada merasa nggak bisa menerima rencana perjodohan ini, Bun. Maaf, Ayah.. Bunda," ucapnya lirih.
"Kenapa kamu nggak bisa menerima perjodohan ini, Da? Coba kamu kasih alasannya sama Bunda."
"Nada belum siap untuk menikah."
"Kenapa kamu belum siap, Da?" tanya Ayah lembut. "Usia kamu sudah cukup matang untuk menikah. Dua puluh lima tahun adalah usia yang pas, Nak. Apalagi kamu perempuan. Kamu bahkan dulu sudah lahir saat Bunda seusiamu sekarang."
"Nada masih ingin menikmati waktu Nada sendiri, Yah."
"Sampai kapan, Nak?"
Sampai kapan? Entahlah, Nada pun tak tahu sampai kapan ia betah terus menyendiri seperti ini.
"Apa yang kamu tunggu, Nak? Teman-teman seusiamu juga sudah menikah. Metta dan Haura, mereka sudah menjalankan syariat Nabi dengan menikah. Apa kamu nggak mau seperti mereka? Atau karena sebenarnya ada seseorang yang kamu tunggu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
With You (New Version)
RomanceLIMA PART TERSISA Nada Fahira Zalfa "Mungkin memang bukan kamu orang yang ditakdirkan untukku. Tapi aku belum bisa melihat dia yang setia mencintaiku.." Arkhan Said Ramadhan "Maafkan kebodohanku yang melepaskan wanita sebaikmu. Hingga aku tak bisa m...