IJE : Huma

1.1K 83 14
                                    

Tolong di perhatikan, dalam bab ini terdapat konten dewasa, jadi bagi pembaca yang berusia di bawah 21 tahun diharapkan tidak membaca, ya?




10 tahun yang lalu

Hujan masih mengguyur lebat dan ibu masih belum pulang. Aku menunggui ibu pulang di balik jendela kamar. Si lelaki berbadan bau yang di panggil ibu 'sayang' itu sejak pagi hanya mendengkur. Sudah 3 hari ibu dan si bau tidak akur. Setiap si bau tersadar dari tidur, dan menemukan ibu berada didekatnya, si bau akan berteriak.

"Hay jalang, tubuhmu laku berapa semalam?"

selalu pertanyaan yang sama. Dan ibuku akan membalas makiannya.

"Lelaki bangsat! Kamu itu punya apa untuk hidup jika tidak ada aku, hah?"

Mendengar itu, si bau akan semakin marah dan memecahkan botol-botol kaca. Melemparkan botol pecah itu pada ibuku. Dan Aku akan selalu berada di dalam lemari besi di dalam dapur tua kami. Memeluk kedua kakiku. Menutup indra penglihatan dan pendengaranku.

Ibuku yang malang takut mati di tangan si bau, ia lalu memberikan berlembar uang yang aku tahu akan habis dalam waktu semalam oleh si bau. Ketika itu aku selalu ingin memanggil ibu si dungu.

Dungu karena selalu saja pulang ke rumah ini dan tetap menuruti si bau. Pernah ketika aku ingin sekali makan es krim seperti yang di makan anak berpita merah di seberang rumah. Kemudian aku mengatakan keinginanku itu pada ibu di sebuah kesempatan. Dan ibu berjanji membelikan aku es krim besok pagi setelah ia bekerja.

Besoknya, setelah aku menemui ibu di antara pecahan beling setelah perkelahiannya dengan si bau, ibu memuntahkan segumpalan kertas limapuluh ribuan. Kemudian menyapu air liurnya di uang itu dengan bajunya.

"Belilah es krim itu, makan diluar" ibu mengatakan itu dengan nada lemah. Aku seharian itu terus menangis. Menyesali telah meminta ibu membelikanku eskrim. Aku ingin memanggil ibuku si malang. Dan aku si kecil bodoh.

Ketika si bau dan ibuku tidak sedang betengkar, pintu kamar mereka tertutup rapat. Ibu tidak akan menatap lurus ke arahku dan selalu mengurung dirinya di kamar mereka. Aku selalu memperingati diri sendiri untuk tidak mengintip ke dalam. Namun suatu ketika aku mendengar suara-suara aneh dari kamar. Aku tahu di pintu kamar itu ada lubang kecil, ku jejalkan pandanganku di lubang itu.

Yang kulihat adalah tangan ibu yang terikat tambang. Kakinya terikat juga, tapi satu kaki di ujung kanan ranjang, satunya di ujung kiri. Aku tidak mengerti apa yang dilakukan mereka didalam. Tidak mengerti juga mengapa si bau menyiramkan cairan merah pekat di atas tubuh telanjang ibu lalu menciumi ibu sambil tangannya memijat pelan tubuh ibu.

Walau ketika itu aku banyak tidak mengerti, namun Ingatanku terhadap kehidupan kami dulu bukanlah sekedar bayangan samar. Aku mengingat setiap detil kejadian itu seperti menonton adegan film.

Sejak kecil, aku tahu nenek membenci aku dan ibuku. ia bahkan sudah membenciku ketika aku dalam kandungan. Hal ini dikarenakan ibu lupa siapa ayah kandungku.

{}

"Untuk apa kamu pergi ke ibukota? Ibumu si pelacur itu sudah membuangmu ke kota tua ini!" Nenek memukulkan rotan itu ke betisku. Aku meringis menahan sakit. Kugigit bibir bawahku kuat-kuat. Jika nenek tahu aku menangis, ia akan semakin memukulkan rotan itu.

"Kamu mau pergi ke ibukota sialan itu dan jadi pelacur juga, heh?" Hardik nenek. Aku bergeming.

Diam. Hanya perlu diam sebentar lagi dan nenek akan berhenti memaki. Paru-paru tuanya tidak akan kuat menahan amarahnya. Dia akan kelelahan dan berhenti sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 10, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FATE: Permainan SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang