PROLOG

2.5K 97 11
                                    

Cinta, kematian, takdir. Bagai Tiga saudara satu ibu-ayah yang berbeda karakter namun kadang bertautan, bersatu, atau bertentangan. Kadang ketika bercinta lalu takdir mengambil andil membawa kematian merusaknya. Kadang ketika dalam ambang kematian kita baru bisa mencintai takdir.

aku telah merasakan hal itu saat pertama kali melihatmu. Di persimpangan jalan kota tua yang senyap itu. Aku membawa koperku dan kamu berjalan memeluk kucingmu yang sekarat.

Anehnya, bahkan ini pertemuan pertama kita, namun aku merasa telah ribuan kali bertemu denganmu sebelumnya. Ribuan kali jua aku merasa telah menghindar darimu.

Aku mendekat padamu yang menangis memeluk kucing yang tidak berdaya itu.

"Dia akan mati" ucapku waktu itu. Dan kamu semakin menangis.

"Sudah takdirnya dia mati, kamu tidak perlu menangisinya"

Kamu menaruh kucing itu di tanah sambil menekuk kaki. "Apa.. apa ia sudah tidak merasakan sakit?" Tanyamu dengan suara serak.

Aku bergeming sejenak. Mencoba mengerti apa yang kamu bicarakan.

"Kata ayah dia sakit parah, dengan mati apakah ia sudah tidak merasa sakit lagi?" Kini mata sembabmu menatapku dengan penuh permohonan. Aku merasa tidak nyaman di tatapi begitu.

"Aku tidak tahu rasanya mati," ucapku perlahan. Dan kamu malah menunjukan ekspresi ingin menangis lagi.

"Tapi ia sudah di takdirkan mati, bukan? kamu tidak bisa merubahnya, sakit atau tidak kematian itu, takdir selalu menjadi pilihan yang terbaik oleh Tuhan" kataku mencoba mengutip apa yang dikatakan oleh teman ibuku ketika ia menemukan jasad pacar ibuku yang membusuk di tanah. Lucunya yang mengatakan itu adalah pembunuhnya.

Kamu mengerjapkan mata menatapku. Beberapa anak memang tidak bisa mengerti apa yang orang dewasa katakan. Akupun tidak terlalu mengerti, tapi hidupku sejak awal sudah di kelilingi orang dewasa. Aku sudah cukup terbiasa terhadap kalimat kasar dan kompleks.

aku membuka koperku dan mengambil beberapa permen. "Ambillah!" Kusodorkan permen itu. Kamu mengambilnya.

"Makanan manis memang yang terbaik saat menangis"

Setidaknya aku yakin kamu mengerti cara membujuk yang satu ini. Cara ini sering di pakai ibu dan selalu mempan terhadapku.

Dan benar saja, kamu saat itu tertawa. Dengan mata sembab dan ingus yang mengalir.

Saat itu aku masih berusia 7 tahun. Sama denganmu. Aku dan kamu yang baru saja datang kekota tua ini. Aku yang di buang ibuku, kamu yang baru mengikuti ayahmu setelah kematian ibumu. Kehidupan kita tidak sama. Namun aku sudah tahu takdir bertemu denganmu tidak hanya saat ini. Cerita kita bahkan baru dimulai.



Hai haiiiii.. cerita ini sebenarnya sudah pernah saya publish, tapi di unpublish karena saya malu. Saya tidak pintar buat cerita panjang. Suka hilang feelnya. Kalau sudah hilang akan beda "aura" (?) Mungkin harus bertapa dulu biar dapet feel yang sama 😄
dan saya bukan orang yang pintar bikin cerita cinta manis. Sejujurnya otak saya lebih serong ke arah yang "gelap-gelap" gak tau kenapa tiap mencoba bikin cerita yang manis suka ilfeel sendiri. Ih macam cerita cengeng, sesuai definisi mas Andi. Padahal saya suka sekali membaca cerita yang manis-manis. Jadi jangan berharap cerita ini akan manis. gak, cerita ini gelap. Sesuai jalan pikir otak saya 😄

FATE: Permainan SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang