3. Shila: Lo ayah Kenids

19.1K 1.4K 11
                                    

Seperti hari jum'at biasanya. Ali menyetirkan mobilnya menuju toko bunga bernama 'Zahra Flowers' membelikan sebuket mawar putih untuk karangan di makam ayahnya.

Iya. Ali memang benci ayah-nya karena harus menjodohkannya pada Shila. Namun Ali memilih untuk tidak ambil pusing. Menurutnya ini sudah garisan takdir yang tidak bisa ia bantah.
Sama seperti Prilly, Ali pun juga terlalu percaya pada takdir. Ia yakin, kalau suatu hari nanti - jika Allah berkehendak- pasti dirinya dan Prilly bertemu lagi.

Huft. Prilly lagi. Jika ia boleh meminta, ia akan meminta untuk menghilangkan Prilly sejanak dalam pikirannya. Namun nihil, bahkan otak dan hati terlalu kompak untuk selalu merangkai nama dan wajah Prilly di benak Ali.

"Zahra, kaya biasa ya." Kata Ali memesan buket pilihannya.

Mawar putih. Bunga favorite ayah nya. Mendiang almarhum, ia berpesan agar setiap jumatnya di taburi kelopak mawar putih dan buket mawar putih juga.

Dan mawar putih, mengingatkan Ali lagi dengan sosok chubby yang dulu selalu menemaninya. Senyumnya terurai seketika teringat wajah mengemaskan Prilly ketika elergi dengan mawar putih pemberian Ali. Sering memang Ali meminta Prilly untuk menggangganti bunga pemberiannya dengan bunga lain atau semacamnya namun Prilly selalu menolak, menganggap kalau mawar putih itu terlalu sempurna bagi Prilly.

"Kamu nembak aku pakai mawar putih sayang. Itu spesialnya." Argumen Prilly yang masih Ali ingat hingga kini.

Senyumnya mengembang lagi mengingat ketika meminta Prilly untuk menjadi kekasihnya. Waktu itu caranya terlalu alay dan kanakan; jadi secret admirer hampir 2 tahun lamanya lalu tiba-tiba menunduk dan menyodorkan bunga.
Hih. Ali saja begidik mengingat alaynya dulu dirinya.

Sekitar 15 menit menunggu, kini Zahra telah membawakan sebuket bunga beserta kelopak mawar putih pesanan Ali. Ali mengelurkan beberapa lembar uang kertas nya lalu memberikannya pada Zahra.

"Minggu depan cari toko bunga lain deh ya," kata Zahra seraya menyodorkan kembalian uang Ali.

"Loh? Kenapa?" Tanya Ali bingung.

"Tokonya kayanya mau di tutup. Gak ada yang jaga, gue mau lanjutin kuliah ke Jogja jadi ya... gitu lah." Jawab Zahra.

"Sayang banget, berarti gue cari toko bunga lain lagi ya? Males." Lirih Ali terkesan seperti mengadu. Membuat ribuan bunga bermekaran di hati Zahra. Ya, terhitung sekitar dua bulan yang lalu Zahra mulai menganggumi pesona Ali.

Perempuan mana yang tidak mengagumi Ali. Wajah tampan, rahang kokoh, mata indah, hidung mancung membulat. Terlalu sempurna.

"Gue ntar balik kok. Sabar ya," jawab Zahra percaya diri. Ali membalasnya hanya dengan senyum kikuk.

"Hm." Gumam Ali.
"Eh thanks ya.." lanjutnya lalu kembali ke mobil menuju pemakaman ayahandanya.

***

Setelah membacakan surah Yasin dan Al fatihah, Ali mulai menghela nafasnya -- bersiap untuk bercerita pada ayahnya kini.

"Yah... Ayah tau gak, Kenids udah tau posisi dia sebagai anak haram." Kayanya seraya memandangi nisan dengan tulisan 'Muhammad Rey Gevano'

"Ali malu loh Yah. Ali kasian sama cucu ayah..." lirihnya.

"Ayah, Shila pilihan ayah itu brengsek yah. Jalang! Pelacur!"

"Bahkan ayah Kenids saja dia gak tau... kasian Kenids, ayah!!!"

Ali menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Ali yang dilihat orang selalu tersenyum dan gagah itu nyatanya selalu rapuh di depan nisan ayahnya. Menceritakan semua masalah hidupnya di depan nisan kokoh berwarna putih tulang ini.

Call Me MommyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang