Semua terasa begitu menyakitkan
•CHAPTER NINE•
Seluruh anggota keluarga Park tampak bersiap-siap, antusias akan momen berharga ini. Ini adalah pertama kalinya pria bermarga Park itu akan menghabiskan waktu bersama keluarganya setelah bertahun-tahun terpisah.
"Jimin, panggil Jihae," perintah kepala keluarga dengan nada tegas.
Anak lelakinya mengangguk dan menaiki anak tangga. Namun, di tengah jalan, ia melihat seorang wanita paruh baya yang tampak tergesa-gesa, memegang botol obat dengan wajah cemas.
"Ahjumma, kau sakit?" tanya Jimin, mendekatinya.
"Ah, tidak. Itu—" wanita itu mencoba menjelaskan, namun Jimin sudah mengambil botol itu darinya.
Matanya terpejam saat melihat nama Jihae tertera di label botol. Ia terkejut. Sebagai calon dokter, ia mengenali beberapa jenis obat, termasuk obat yang ia pegang saat ini.
"Biar aku yang mengantarkannya," kata Jimin, meraih botol dari tangan wanita itu sebelum bergegas menuju kamar Jihae. Ia mengetuk pintu dengan cepat.
"Ahjumma, kau bawa obatnya?"
Gadis itu menoleh dan terkejut melihat Jimin. "Apa ini obat yang kau maksud?" tanyanya, bingung.
"Itu..." Jimin mendekati Jihae, menggenggam tangan gadis itu dan menyerahkan botol kecil tersebut. "Ayah menunggu."
Tanpa menunggu jawaban, ia bergegas pergi, meninggalkan Jihae dalam kebingungan.
-
-
Angin lembut menyapa rambut Jihae saat ia memandang pemandangan di luar mobil. Wajah pucatnya, yang sudah disempurnakan dengan riasan tipis, terlihat termenung. Ia memilih duduk di depan bersama ayahnya yang sedang menyetir, sementara ibu, Jimin, dan Jiyoon duduk di belakang. Tiba-tiba, ponsel Jimin bergetar. Ia segera mengangkatnya.
"Halo?"
"Menurut hasil rekam medis, Park Jihae didiagnosa memiliki penyakit aritmia, yaitu gangguan denyut jantung yang membuatnya berdetak tidak normal. Hal ini bisa menyebabkan sesak napas, bahkan pingsan," suara di ujung telepon menjelaskan.
Jimin menatap Jihae yang tampak lemah. Mengapa gadis sepertinya harus menderita sakit?
"Bagaimana dengan penanganan lebih lanjut?" tanyanya, khawatir.
"Mereka masih kesulitan untuk menyembuhkannya, karena fisik dan jantungnya yang sangat lemah."
"Baiklah. Terima kasih," Jimin mengakhiri percakapan dan menatap ibunya yang kini curiga.
"Siapa yang menelepon, Jimin?" tanya ibunya.
"Ah, itu. Temanku, tentang pelajaran di mata kuliah," jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan.
"Benarkah?"
"Iya."
Jimin menghela nafas pelan dan kembali menatap Jihae yang mulai terlelap. Ia memperhatikan ibu dan adiknya, yang tampak tidak menyukai kehadiran gadis yang dianggapnya sebagai pembawa masalah itu.
-
Setelah beberapa waktu, mereka tiba di tempat tujuan, lokasi berkemah yang telah dinanti-nanti. Jihae turun dari mobil, dan ayahnya mendekatinya.
"Ayah dan ibu akan menyiapkan perkemahan. Kalian bisa melihat sekitar, tapi jangan jauh-jauh," instruksinya.
Jihae tersenyum, rasa senangnya mulai muncul. "Baiklah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mianhae(미안해)✓
FanfictionMIANHAE SERIES I [END] Happy Reading!!! Biarkan aku menyerah... Biarkan aku pergi tanpa beban... Setiap kali aku menatap ruangan putih kosong ini, rasa hampa yang menyiksa terus menghujam hati... Apakah aku boleh berhenti mencoba? Apakah aku bisa be...