Bab I

88 2 1
                                    

Jane menggenggam segenggam gundukan tanah makam kedua orang tuanya. Wangi mawar dan bunga-bunga lainnya masih tercium harum di atas gundukan tanah tersebut. Airmata terus mengalir dari mata bulatnya.

"Mom Dad bagaimana cara merelakan kalian pergi? Aku mohon kekuatan dari kalian" dengan terisak Jane terus mengucapkan kalimat-kalimat yang menyedihkan.

Jane berjalan dengan gontai menjauh dari area pemakaman tersebut. SUV merah yang dikendarainya meluncur kembali ke rumahnya.

Rumah itu sungguh sepi hanya ada beberapa pembantu yang selalu mengisi rumah. Dengan tergesa-gesa Bibi Marie menghampiri Jane yang masih dengan mata sembabnya.

"Nona Jane, apakah anda ingin makan siang?"

"Aku rasa tidak Bibi, aku ingin ke kamar dulu"

"Baik Nona, selamat beristirahat"
Jane mengganggukkan kepalanya lalu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.

Jane memejamkan matanya tapi pikirannya terus-menerus berputar dalam kesedihan. Ia mengambil sebuah foto yang terpasang di figura kecil. Foto tersebut menampakkan kebahagiaan mereka ketika orang tua dan ia yang berlibur di Jepang. Airmata pun terus membanjiri pipi putih halusnya.
Dering handphone tiba-tiba berbunyi dan Jane melihat dalam layar tersebut. Dahinya berkerut bingung kenapa Mr. Lary menelponnya malam-malam seperti ini. Dia pun segera mengangkatnya.

"Halo, Mr. Lary".

"Halo Miss Jane, maafkan saya telah mengganggu anda malam seperti ini"
"Tak masalah Mr, ada apa?"

"Saya ingin menyampaikan masalah mengenai perusahaan yang almarhum Ayah anda pimpin"

Mr Lary melanjutkan penjelasannya mengenai perusahaan ayah Jane yang telah mengalami kebangkrutan dan harus di alihkan ke tangan Lewis Group.

"Kami membutuhkan anda sebagai perwakilan dari pemimpin perusahaan Ayaj anda untuk penyerahan pindah tangan perusahaan" Mr Lary menjelaskan dengan suara yang berat.

Ya, Mr Lary adalah salah satu orang kepercayaan Ayahnya selama bertahun-tahun untuk menangani perusahaannya. Mr Lary juga sangat terpukul atas kematian kedua orang tua Jane.

"Mr Lary, aku bingung apa yang harus katakan, bahkan rasanya aku sudah tidak dapat berpikir lagi" dengan sedikit terisak Jane menanggapi berita yang disampaikan Mr Lary. Baru 2 hari kedua orang tuanya meninggal ia harus menanggung beban seperti ini.

"Maafkan aku Miss, saya juga tidak berharap seperti ini"

"Tidak apa-apa Mr ini bukan kesalahanmu, terima kasih atas infonya besok aku akan siap ke perusahaan".

Janr menutup telponnya airmata bertambah deras membanjiri pipinya. Ia merasa mengapa dirinya serapuh ini.
Mr Lary juga menginformasikan bahwa rumah dan aset-aset yang dimiliki ayahnya juga akan disita, kepala Jane semakin pusing dan berat, perasaannya sungguh rapuh. Bagaimana ia harus melanjutkan hidupnya kelak. Kesedihan dan tangisan yang berlarut-larut membuatnya lelah sehingga tertidur dengan sendirinya.

Paginya Jane bangun dengan semangat yang ia paksakan harus ada di dalam dirinya. Ia bergegas mandi kemudian memakai simple dress warna tanpa lengan selutut kemudian melengkapinya dengan blazer warna putih tulang. Ia memoleskan tipis lipstick pink muda ke bibir ranumnya yang beberapa hari ini selalu pucat. Ia menambahkan make up tipis di wajahnya. Jane tampak sempurna dan cantik karena memang ia diciptakan dengan hidung mancung kecil, mata bulat berwarna abu, serta pipi yang tirus dan lupa bibir ranum yang indah. Rambut brunettenya terurai rapi sebahu dengan sedikit gelombang. Tubuhnya cenderung kecil namun mengesankan. Jane siap dengan semangat barunya untuk pergi kantor ayahnya.

"Bibi aku sudah menyelasaikan sarapanku, aku akan pergi ke kantor Daddu" Jane berpamitan kepada Bibi Marie.

"Hati-hati Nona semoga harimu selalu membahagiakan" jawab Bibi Marie dengan senyumannya.

Jane masuk ke ruangan dimana tempat pertemuannya dengan Lewis Group yang akan memegang kendali perusahannya. Dengan perasaan yang tak bisa digambarkan Jane memaksakan senyumnya kepada pria di depannya ini yaitu Rudolf Van Lewis.

"Terima kasih Ms Connor atas usaha negosiasimu tapi jujur saya tidak yakin bisa melakukannya dengan baik mengingat pengalaman anda serta pendidikan anda yang masih setengah jalan"

"Tapi Ayahku juga mengajarkanku beberapa hal untuk mengendalikan perusahan" gertak Jane, ia sudah jengah dengan diskusi ini.

"Itu saja tidak cukup, kita akan mendatanganinya" ucap Rudolf dengan sinis dan dingin segera membubuhkan tanda tangannya tanpa persetujuan Jane

Ya , Rudolf Van Lewis, CEO berusia 33 tahun pemegang Lewis Group.
Ia CEO yang paling disegani terkenal dengan sikap dingin dan arogannya yang membuatnya berhasil menjalankan perusahan-perusahaannya.

Jane menatap pria tersebut dengan tatapan benci, bagaimana tidak ia sudah mencoba bernegosiasi dengan pria tampan di depannya tersebut. Rudolf memang tampan, rahangnya kokoh, bibir tipis namun penuh, tubuhnya tinggi dengan otot-otot tubunya yang sempurna. Tidak akan ada wanita yang akan menolaknya. Ia sempurna tapi tak punya hati pikir Jane.

Jane pasrah atas usahanya, Rudolf adalah pria yang tidak punya belas kasihan. "Aku tidak sudi jika harus bertemu lagi denganmu lagi Rudolf!". Dalam hati Jane memohon maaf kepada mendiang orang tuanya pula karena ia tak mampu memp
ertahankan perusahaan ayahnya tersebut. Ia menyiapkan diri bahwa ia akan segera terpuruk dalam kemiskinan.

Romance MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang