Tiga hal yang mampu menghibur Velyn. Buku, kopi, dan hujan.
Saat gerimis mengguyur kota, di depannya terdapat secangkir kopi panas dan tangannya membalik lembaran buku, itulah hari terbaik untuknya. Biasanya ia melakukan rutinitas itu di teras rumahnya, atau di Cafe Éleanor langganannya.
Namun, beberapa hari belakangan cafe langganannya itu tutup, dan teras rumahnya tengah dirombak ulang-Ibunya ingin mengubah tatanan taman, membuatnya terpaksa mengungsi ke rumah sahabat sedari kecilnya, Rion.
***
Rintik hujan terlihat turun dari jendela kamar Rion, membuat kaca jendela sedikit mengembun. Dua sahabat itu tengah melakukan aktivitas yang berbeda, Velyn duduk di karpet menyender ke tempat tidur, dengan kopi yang masih mengepulkan asap di sebelah kirinya dan novel tebal terhimpit di pangkuannya. Sementara Rion, lelaki itu tengah duduk di kursi fokus pada layar laptopnya, di telinganya terpasang headphone Razer dan tangannya gesit menggerakkan mouse, ia sedang memainkan game kesukaannya, Dota 2.Jderr!
Tep.Pemadaman listrik. Velyn langsung terkesiap dan Rion menjerit pelan, meributkan perihal 'tower' dalam gamenya. Mereka berdua diam selama beberapa saat,
"Lyn?"
Rion memanggil Velyn, namun tidak direspon. Lelaki itu mendesah pelan, ia meraih smartphone di samping mousenya, lalu menyalakan fitur flashlight, sebagai pengganti senter. Diarahkan layar smartphonenya itu ke arah Velyn, ia menggelengkan kepala pelan melihat gadis itu menenggelamkan kepala di antara kedua lututnya, badannya bergetar pelan karena ketakutan. Ya, Velyn takut pada gelap.
Rion bangkit dari kursinya, hendak melangkah ke arah sahabatnya itu. Namun, karena keadaan yang gelap, ia tak melihat dan malah menyenggol cangkir berisi kopi panas milik Velyn, membuat isi cangkir tumpah, mengenai kakinya,
"Argh.."
Rion merintih pelan, alisnya berkerut merasakan kulitnya terkena kopi yang masih panas, ia berjongkok untuk memeriksa kakinya. Velyn menoleh, ia langsung terkejut mendapati Rion yang tengah kesakitan, tangannya terjulur mengusap kaki Rion yang basah dan terlihat kemerahan.
"Maafkan Velyn, Ion.." Ujar Velyn terisak, Rion hanya tersenyum merespon. Tangannya mengarah ke puncak kepala Velyn, mengacak pelan rambut gadis itu. Isakan Velyn makin kencang, lampu yang tak kunjung menyala kian membuatnya takut.
Segera Rion meraih gadis itu dalam pelukannya, berusaha menenangkan sahabat kecilnya itu.
"Tenang, ada gue kok disini"Rion mengusap punggung Velyn, membuat perempuan itu berangsur-angsur tenang. Velyn menaruh dagunya pada pundak Rion. Isakannya sudah berhenti.
"Ion?"
"Hm..?"
"Ini... engga mau dilepas?"
Velyn malu-malu bertanya, karena Rion tak kunjung melepaskan pelukannya.
"Hmm... engga, nanti lo ketakutan lagi,"
Untung saja lampu masih padam, kalau tidak, Rion pasti sudah meledek habis-habisan muka Velyn yg memerah seperti tomat. Mereka terus berada di posisi yang sama, dengan Velyn yg menyembunyikan wajahnya di dada Rion. Hening menyelimuti.
Klik.
Listrik menyala, lampu di kamar Rion langsung bekerja menyebarkan cahaya. Velyn berinisiatif melepaskan duluan pelukan Rion, lelaki itu malah merespon dengan semakin mengeratkan dekapannya.
"Ih Ion.. Lepasin, udah nyala, tuh"
Rion masih tetap bergeming.
"Lepasin ih, Velyn mau beresin tumpahan kopi"
"Engga ah, enak meluk kamu, nyaman"
-- End --
Oke. Ini Apa. Gangerti. Oksip.
Ini ada di draft lamaaaaa banget, baru sempet di post.Okay, tq vomment deh ya kalo suka.
17 Mei 2016,
T.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Dream
Короткий рассказKutuangkan mimpiku dalam sebuah tulisan. Mimpi indah yang enggan untuk jadi nyata, membuatku bimbang di satu kenyataan menyakitkan, bahwa semua yang terjadi, hanyalah mimpi. -Kumpulan Oneshoot-