🦋 DUA 🦋
~ Warm Hug ~Luisa agak terkejut dengan tawaran dan perhatian dari lelaki yang baru saja dia temui ini, ternyata lelaki bernama Denova ini sudah tau niatnya. Walau siapa pun akan tau jika melihat penampilan Luisa saat ini, gaun selutut berwarna putih yang tipis, kaki tanpa alas dan wajah pucat.
Diabaikannya tawaran Denova karena Luisa pikir itu hanya isyarat bahwa lelaki itu ingin mengatakan bahwa dia sudah mengetahui apa yang ingin Luisa lakukan.
"Ngerti kan sekarang? Kalau lo udah tahu niat gue, mending lo pergi. Gue nggak mau diganggu," ketus Luisa lagi.
"Hahaha!" Denova kembali terkekeh dan Luisa menyayangkan di akhir hayatnya harus mendengar suara menyebalkan itu.
"Kenapa metodenya harus ini, sih? Ada banyak cara untuk mati, tapi lo malah milih melompat ke jurang? Capek banget nggak sih harus jauh-jauh ke hutan ini segala hanya untuk mengantarkan nyawa," pungkas Denova menatap ke bawah jurang, begitu kelam, hitam, dan menyeramkan.
"Itu bukan urusan lo!" sela Luisa cepat.
"If you notice, begitu terjun, lo nggak bakal langsung mati," tambah Denova dengan nada datar. "Minimal lo bakal ngerasain sakitnya patah tulang, tulang rusuk, patah leher, dan patah kaki dulu. Setelah lo kesakitan yang benar-benar bikin lo tersiksa, nafas lo bakal tercekik, darah di otak bakal turun, dan di detik-detik itu nyawa lo bakal pergi dalam waktu yang lama, of course dengan rasa sakit yang benar-benar luar biasa."
Mendengarnya ternyata sangat mengerikan, Luisa menelan berat tentang kemungkinan yang akan dihadapinya. Namun, di satu sisi dia yakin lelaki ini hanya ingin menakut-nakuti.
"Gue capek denger suara lo, berisik! Pergi nggak sekarang! Let me die in piece. Gue mau mati dengan tenang!" seru Luisa frustrasi.
Sungguh mengapa ada saja yang menganggu prosedur bunuh dirinya malam ini, dia tak berniat untuk mengulang tindakan ini lagi besok, mengumpulkan keberanian untuk ke hutan ini saja merupakan sebuah perjuangan baginya untuk kabur dari penjara itu.
"Lo pikir yang mau bunuh diri cuma lo doang?" ucap Denova kali ini dengan nada putus asa. "Gue juga."
Kalimat itu langsung membuat Luisa tersentak. Tubuhnya bergeming sebagai reaksi, dia menatap kaget lelaki itu dengan wajah penuh harap. "Se-serius?"
"Tapi bo'ong," cengir Denova menyunggingkan senyuman isengnya. "Kan tadi gue udah bilang lagi hunting photo hewan-hewan malam."
'Sialan!' Ingin rasanya Luisa mencakar wajah itu sekarang juga.
Padahal dia hampir berpikir bahwa ada manusia yang juga putus asa sama seperti dirinya. Bahwa dia bukan satu-satunya orang yang paling menderita di dunia ini. Tapi setelah tau dirinya sedang dipermainkan, Luisa berjalan mendekati Denova kemudian mencengkram erat kerah jaket lelaki itu.
"Heh lo pikir situasi gue sekarang bisa jadi bahan candaan? Gue lagi nggak bercanda! Siapa nama lo tadi? Ah ... ya, Denova. Kalau lo di sini cuma mau godain cewek silakan cari di tempat lain. Lo pikir dengan bercanda bisa bikin gue ketawa dan mengurungkan niat untuk bunuh diri Hah?!" teriaknya brutal, semua rasa frustrasi ingin rasanya dia limpahkan pada lelaki ini. "Lo pikir semesta bisa sebaik itu ngirimin gue manusia pas gue udah segila ini?"
Denova terdiam beberapa detik tapi dia cepat-capat menyesuaikan diri. "Calm down ... calm down." Denofa melepaskan cengkraman Luisa kemudian merangkul pudak gadis itu sambil menepuk-nepuk pelan untuk menenangkannya. "Lo boleh melampiaskan kekecewaan lo pada semesta, gue bisa paham kenapa langit bisa sekejam itu tanpa pandang bulu. Mereka emang kejam."
Luisa terdiam menahan emosinya, ucapan Denova memang sedikit mewakili kebenciannya kepada takdir.
Air mata Luisa kembali menyeruak, mengalir dari kedua matanya yang sudah sangat sayu dan merah. Dia terisak dan menunduk, bersamaan dengan itu Denova langsung memeluk gadis itu dengan hangat, membiarkan Luisa menangis di dalam jaket di dadanya.
Angin malam kembali berhembus di sekitar mereka. Luisa yang sudah puas menangis kini menarik badannya dari tubuh hangat itu. Dia menatap Denofa sambil tersenyum kecil. "Thanks," ucapnya pelan.
"For what?" tanya Denofa.
"Kehangatan itu," ucap Luisa singkat.
"Lo nggak perlu berterima kasih," pungkas lelaki itu.
"Terima kasih karena lo orang pertama yang ngasih gue kehangatan setelah gue keluar dari penjara itu, Denova," tutur Luisa dengan tatapan kosong.
"Penjara? Ma-maksud lo?"
Luisa menghembus pelan, dia merasa sedikit lebih lega. "Sekarang, gue bisa pergi dengan tenang dan damai," bisiknya. Tubuhnya kembali berbalik menghadap jurang.
"Tu-tunggu, ma-maksud lo apa? Penjara apa? Masalah apa yang sebenernya bikin lo ngambil keputusan kayak gini?" Nada Denova sedikit tercekat karena dia tak ingin gadis ini betul-betul melompat tepat di depan matanya.
Luisa terlihat berpikir sejenak. "Kalau gue ceritain pun, lo mungkin nggak akan percaya. Yang jelas ini satu-satunya cara agar gue bisa terbebas dari mereka."
Denova menatap Luisa serius. "Mereka siapa?"
Gadis itu tersenyum. "Lo nggak perlu mengerti, Denova. Di dunia ini memang tak semuanya harus dimengerti." Luisa menggeser langkahnya semakin dekat di bibir jurang.
"Lo mau lompat? Se-sekarang?" Feeling Denova tak enak. Lelaki itu sampai menahan napasnya, dari yang dia lihat gadis ini sepertinya sudah memantapkan hati untuk mewujudkan niatnya.
'Apa yang harus gue lakuin?' batin Denova dalam se per sekian detik. 'Narik gadis ini? Terus?'
Luisa menoleh menatap Denova dengan senyuman tipis di bibir pucat itu. "Goodbye, Denova." Kemudian wajahnya menatap lurus ke arah depan, mengambil posisi tegap sambil menarik napas begitu dalam.
Perlahan, gadis itu mulai menjatuhkan diri.
Perlahan ... dan perlahan. Tubuhnya terasa terbang dan melayang. Jiwa ini terasa tak dalam raganya lagi. Ini akan menjadi akhir dari hidup seorang Luisa.
'Selamat tinggal dunia.'
~o0O0o~
~o0O0o~
Gimana guys?
Aku rada nggak pede sebenernya
Tapi ini dipede2in aja, wkwkkLike and comment ya
Terima kasih ....
.
.
.
Love Di Udara💕
Ranne Ruby