"Panas."
Rara berbicara pada dirinya sendiri di bawah lampu merah yang tidak kunjung berubah warna menjadi hijau. Dihapusnya setetes keringat yang menuruni keningnya, dan perlahan membasahi rambut yang ia biarkan terurai.
Setelah lampu hijau menyala dan bunyi klakson mobil di belakangnya sangat mengganggu, Rara melajukan motornya dan menuju sebuah tempat yang sudah ia rencanakan akan kunjungi. Ia sudah memikirkan hal ini sejak dua minggu yang lalu.
Toko buku. Ya, tempat yang ia tuju adalah toko buku. Desahan napas lega terdengar dari mulut Rara. Ia sudah membayangkan ruangan ber-AC yang menjanjikan kesejukan di sana.
Seperti sudah fasih dengan tempat tersebut, langkah Rara langsung menuju deretan rak buku dengan judul terbaru. Sebelah tangannya berkacak di pinggang, mengamati tumpukan buku yang berjejer rapi di depannya.
Matanya menyipit sebagai tanda bingung, ia memutuskan mengelilingi toko ini untuk mencari buku tersebut. Namun hingga kembali ke tempat semula, buku yang ia cari tidak ada.
Dengan perasaan setengan kesal, Rara berjalan mendekat ke arah mbak kasir yang sibuk melayani pelanggan.
"Mbak, buku Hujannya Tere Liye belum ada, ya?"
Rara bertanya pada perempuan berpakaian rapi dengan rambut yang diikat ekor kuda membuatnya tampak anggun dan natural.
"Sudah ada, mbak. Di rak nomor tiga, samping buku-buku karya Asma Nadia dan Habbiburrahman."
Kasir itu menjawab lalu membuang muka dan melanjutkan pekerjannya.
Muka kesal Rara berubah menjadi bingung, ia sudah datang ke tempat itu tadi, namun bukunya tetap tidak ia temui. Rara kembali dan berdiri di rak nomor tiga seperti yang kasir tadi katakan.
Rara memperhatikan satu per satu buku yang bersampul rapi di sana. Pandangannya tertuju pada buku bersampul biru muda dengan perpaduan warna putih yang berada di ujung rak sebelah kanan. Senyum mengembang dari garis bibirnya.
"Tapi kenapa tadi nggak ada, ya waktu gue mondar-mandir di sini?"
Rara bertanya dalam hati. Keanehan lainnya, buku itu sudah berantakan -tidak tertumpuk secara rapi- dan berada di atas buku lainnya. Dan buku ini hanya tinggal satu saja di rak. Dalam hati ia bersyukur masih dapat menemukannya -meskipun tidak ada pilihan lainnya-.
"Apa sudah ada yang punya?"
Ia bicara sendiri. Setelah diamati sekelilingnya namun tidak menemui siapa pun, ia memastikan bahwa buku itu memang belum bertuan. Rara membawanya menuju kasir untuk di bawa pulang.
"Mbak, tolong dibungkus sekalian, ya. Sama minta tolong juga masukin kartu ini di dalamnya."
Rara menyerahkan sebuah amplop berwarna biru muda. Di bagian depannya tertulis 'Untuk kucing yang selalu merebut tulangku. Dari tikus yang akan selalu mengelabuhimu.'
"Ini, Mbak. Terima kasih atas kunjungannya, ya."
Senyum tersimpul dari bibir kasir yang menyerahkan bungkusan berwarna ungu itu kepada Rara. Rara membalas senyuman kemudian menarik pintu dan keluar menuju tempat ia memarkir motornya tadi
***
Seorang pemuda tengah berjalan santai keluar dari toilet. Penampilannya yang mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans bersih, rambut dibiarkan acak-acakan, dan juga kaca mata yang ia pakai membuatnya tampak elegan.
Langkahnya mendekati rak nomor tiga dengan niat ingin mengambil buku yang sudah di letakkan di sana. Matanya membelalak kaget saat buku itu sudah tidak
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rainbow
Teen Fiction"Kamu salah, Al." Pandangan Rara kini menatap lurus dedaunan mangga yang ada di depannya. "Salah?" Suara Alam terdengar bingung, sehingga ia kembali mengulangi kata-kata Rara. Sebagai jawaban, Rara mengangguk. "Pelangi itu bagiku, bukan hanya tujuh...